Pengikut

Sabtu, 26 September 2009

Ketapang di mata ku

0 komentar
menjelajahi tiap sudut kota ketapang menjadi hal yang menarik sampai saat ini. kota berubah namun perilaku tak berubah (bg Iwan Fals), namun hal ini menjadi tantangan buat pemerintah daerah untuk tetap berusaha mencerdaskan kehidupan masyarakat dan ikut menjaga perdamaian di tanah kayong ini.

walaupun perilaku menyimpang dan kekerasan tidak begitu kentara di kota yang telah ku tinggalkan 4 tahun ini, namun benih-benih itu sepertinya sudah mulai kelihatan. setiap sudut jalan di penuhi dengan barisan serdadu motor yang siap mengoyak sepinya jalanan dengan mulut kecil namun tak sebanding dengan bunyi yang keluar dari knalpot yang begitu menyakitkan telinga. para orang tua protes dengan keras, berteriak hentikan motor mu nak, namun mereka hanya bisa membisu mengetahui yang melakukan adalah anak dari teman kantor mereka, anak dari bos mereka, anak dari hasil pernikahan mereka sendiri. mulut tersipu malu dan senyum simpul dilakukan untuk menetralisir kedaan yang semakin memanas.

cerita lucu diutarakan temen sekolah di SMP menjelang maghrib, idelisme yang tertanam di benakknya membawa dia berpikir bagaimana wajah kota kelahirannya 10 tahun yang akan datang. kekahawatiran merupakan hal yang wajar menurutku untuk membayangkan kota hantu ini dengan berbagai bentuk rupa, hehehehe. seakan melanglang buana ke negeri didalam sebuah kerang, ketapang merupakan mutiara hitam yang kehilangan keindahannya karena di cat dengan warna pink ama "si empunya", terlihat lebih feminim memang, namun lebih rapuh sehingga coreng moreng tanpa identitas yang jelas.

miris memang namun tak sampai ku menangis, terkadang hanya bisa mengais apa yang ada untuk di kembalikan di tempatnya semula. ku pulang dengan berbagai harapan dan impian untuk melakukan hal yang benar, semoga bukan hanya mengkhayal tanpa usaha.

Minggu, 29 Maret 2009

mujahid tua besar menginspirasi....( lii anta sayyid kabir )

0 komentar
duduk dipojokan bangku paling belakang disebuah kantor membuat aku bisa melihat semua bentuk karakter ornamen manusia didepanku...namun terkadang, aku tidak mampu membedakan apakah aku masih didunia yang nyata atau di dunia yang maya...karena dengan segala kesengajaan aku dapat melihat dunia dalam subuah kotak kecil putih yang selalu setia menemani ku 3 bulan ini...thaks my white...

tanpa ekspresi datang dihadapan ku sebuah arus besar menghembuskan napas mudanya didalam tubuh yang menurut ku tidak muda lagi, berguling perlahan namun terasa indah ketika mulutnya terbuka dan mengeluarkan irama melayu berhawa batak...hahaha, terlintas dipikiran ku, bola panas lagi yang akan beliau lempar dimuka ku...?duduk diam, berupaya melawan...pasrah aja lah...

mutiara - mutiara lembut dan bercampur air keluar dari sela-sela lidah dan gigi beliau, aku tetap mendengarkan, mencoba memahami apakah didalam mutiara itu masih terdapat intan yang dapat ku ambil dan keberikan untuk generasi depan?oh, ternyata bukan mutiara, namun sebuh jambrut cair yang tiba-tiba meleleh di otak ku...dingin...

perlahan namun tidak teratur, obrolan mulai mencapai klimaks...ternyata kota yang kudiami ini masih mempunyai orang-orang yang mampu berkarya tanpa harus bersensi dan berpolitik...sederhana namun berharga, itu yang dapat kusimpulkan...didalam sebuah pompa tua dan ombak berbuih memiliki hasrat untuk memberikan sesuatu kepada anak cucu ku...

janga pergi, selalu begitu...meninggalkan dosa saja tuan besar ini...jangan memulai jika tidak mampu untuk mengakhiri....

Minggu, 22 Maret 2009

kekerasan Terhadap Anak

0 komentar

Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi. Setiap hari ratusan ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya,ada anak yang disiksa orangtuanya atau orang yang memeliharanya. Setiap malam, di antara gelandangan ada saja gadis-gadis kecil yang diperkosa preman jalanan, Setiap menit ada saja anak yang ditelantarkan orangtuanya karena kesibukan karier, kemiskinan, atau sekedar egoisme. Mereka tidak masuk koran karena mereka tidak mati tiba-tiba. Umumnya mereka mati perlahan-lahan. Mereka tidak muncul dalam media karena perlakuan kejam yang mereka terima tidak dilaporkan polisi.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering terjadi. Data laporan K3JHAM selama tahun 2000 di Kota Semarang terjadi 29 kasus perkosaan yang terpublikasi, jumlah tersebut terbesar terjadi di antara 29 kabupaten/kota di Jawa Tengah yang terlaporkan perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terpublikasi 26 kasus. Demikian juga kasus kekerasan terhadap anak secara kualitatif dilaporkan oleh Unicef sering terjadi di Kota Semarang baik di rumah, di sekolah maupun di komunitas. (www.semarang.go.id edisi Kamis, 06 Juli 2006).
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan secara sengaja kekuatan fisik atau kekuatan, ancaman atau kekerasan aktual terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, yang berakibat luka atau kemungkinan besar bisa melukai, mematikan, membahayakan psikis, pertumbuhan yang tidak normal atau kerugian. (Kusworo, Danu. 2006 : 1).
Penggunaan kata kekuasaan di dalam definisi kekerasan bertujuan untuk memperluas pemahaman tentang kekerasan dan memperluas pemahaman konvensional tentang kekerasan dengan memasukkan juga tindakan-tindakan kekerasan yang merupakan hasil dari relasi kekuasaan, termasuk di dalam ancaman dan intimidasi.

Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak
Beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak adalah :
Tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan terhadap anak-anak.
Bapak yang mencambuk anaknya tidak dipersoalkan tetangganya, selama anak itu tidak meninggal atau tidak dilaporkan ke polisi. Sebagai bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Tidak ada aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan buruk orang tua atau wali atau orang dewasa lainnya.
Saya mempunyai teman satu sekolah yang kebetulan anak seorang tentara. Kegiatan di rumah diatur sesuai jadual yang ditetapkan orang tuanya. Ia harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus bangun untuk bekerja membersihkan rumah. Bila ia itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Sang Bapak sama sekali tidak merasa bersalah. Ia beranggapan melakukan semuanya demi kebaikan anak. Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orang tua.
Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat.
Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintah harus selalu dipatuhi. Guru harus di gugu dan ditiru. Orang tua wajib ditaati. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Guru dapat menyuruhnya untuk berlari telanjang atau push up sebanyak-banyaknya tanpa mendapat sanksi hukum. Orang tua dapat memukul anaknya pada waktu yang lama tanpa merasa bersalah. Selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap mitra sehingga dalam kondisi apapun anak harus menuruti apapun kehendak orang tua. Hirarkhi sosial ini muncul karena tranformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalunya. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatahpun. Orang dewasa melihat anak-anak sebagai bakal manusia dan bukan sebagai manusia yang hak asasinya tidak boleh dilanggar.
Kemiskinan
Kita akan menemukan bahwa para pelaku dan juga koban kekerasan anak kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak di hadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik. Ia bisa memukuli anaknya atau memaksanya melakukan pekerjaan yang berat. Orang tua bisa menjual anaknya ke agen prostitusi karena tekanan ekonomi. Gelandangan yang diperkosa preman jalanan terpuruk ke dalam nasibnya yang getir juga karena kemiskinan.
Solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak
Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan
Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak monyet dariibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya. (Hurifah, R. 1992 : 70)
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).
Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain
Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak
Orang tua yang terlalu menuntut
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.
Orang tua yang terlalu keras.
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
Marilah kita simak puisi Doroty Lan Nolte yang berjudul Children Learn What They Live yang terjemahannya sebagai berikut
Anak anak-anak belajar dari kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan
Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan,
Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
Ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Sosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4). Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana.
Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
Menghilangkan ketimpangan sosial.
Faktor yang paling dominan yang mendorong tindakan kekerasan terhadap anak adalah faktor ketimpangan sosial. Oleh Karena itu untuk menghapuskan kekerasan terhadap anak adalah menghilangkan ketimpangan sosial tersebut dengan mereformasi sistem politik dan ekonomi negeri ini. Sudah terlalu lama pemerintah mengabaikan derita lebih dari seratus juta rakyat untuk kepentingan seratus orang pengusaha. Kenaikan BBM yang diikuti dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok mengakibatkan beban ekonomi rakyat semakin berat. Bantuan Tunai Langsung (BTL) mungkin merupakan salah satu solusi jangka pendek dari pemerintah. Akan tetapi pertanyaan yang muncul adalah apakah BTL tersebut dapat berlangsung terus untuk menghidupi rakyat-rakyat miskin ? Dan apakah BTL tersebut bukan malah akan mendidik mental rakyat menjadi pengemis yang justru kontra produktif . Menurut saya, yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah membuat kebijakan yang pro rakyat kecil seperti bantuan kredit untuk usaha dengan bunga sangat kecil untuk mendorong rakyat berusaha meningkatkan taraf hidup, pemberian dana beasiswa untuk anak-anak menyelesaikan pendidikan, pemberian dana kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kredit perumahan yang terjangkau oleh rakyat kecil.

Organisasi Siswa

0 komentar
artisipasi anak dalam pembangunan perlu diciptakan, karena kondisi tersebut akan melahirkan embrio-embrio demokrasi yang bertanggung jawab di masyarakat atau sekolah. Demokrasi yang bertanggung jawab menurut Roger A. Hart tercipta hanya melalui praktek dan pelibatan langsung. Ia tidak tumbuh secara tiba-tiba melalui kematangan yang sederhana pada masa dewasa, ia terbentuk dari masa kanak-kanak (Weinstein, C.S., & David, T.G., (ed.), 1987:217). Salah satu wadah anak dapat berpartisipasi adalah melalui organisasi. Tetapi untuk kasus organisasi yang mewadahi anak-anak di Indonesia, apakah telah ada praktek-praktek kegiatan peran serta anak dalam organisasi dan kehidupan nyata? Kenyataannya masih menjadi tanda tanya, walaupun kita telah memiliki kebijakan perundang-undangan, keadaan lapangan belum sepenuhnya menerima secara ikhlas atas partisipasi anak melalui organisasinya untuk memperlancar pertumbuhan dan perkembangan kehidupan berorganisasi dan demokrasi, terutama dalam proses pengambilan kebijakan dan anggaran pemerintah.
Seperti organisasi orang dewasa, organisasi yang mewadahi anak hanya ada kegiatan pada saat pemilihan dan pembubaran pengurus organisasi. Selebihnya kegiatan organisasi sedikit atau vacum, apabila terlihat ada kegiatan, itu hanya karena inisiatif ketua semata. Pengurus lain sibuk dengan kegiatan masing-masing seperti belajar sedangkan kewajiban mereka memajukan atau menggerakan organisasi terabaikan. Kenyataan ini, selain dipicu oleh tidak adanya dorongan dan motivasi –penghargaan sekolah, nilai dan atau materi– juga keterbatasan kemampuan pengurus dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian program organisasi, hal ini terjadi karena kurang atau tidak adanya pengkaderan atau pelatihan manajemen organisasi. Di samping itu adalah minimnya kemampuan anak dalam menentukan isu. Mereka terlalu asyik dengan persoalan yang terkait dengan teknis-teknis organisasi, tetapi mereka lupa bahwa visi mereka untuk kemaslahatan minimal anggota organisasi yang mereka wakili.

Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)

OSIS (kependekan dari Organisasi Siswa Intra Sekolah) adalah suatu organisasi di tingkat sekolah di Indonesia yang dimulai dari Sekolah Menengah. OSIS diurus dan dikelola oleh murid-murid yang terpilih untuk menjadi pengurus OSIS. Biasanya organisasi ini memiliki seorang pembimbing, seorang guru yang dipilih oleh pihak sekolah.
Dari nama OSIS dan kepanjangannya sudah bisa dimengerti bahwa OSIS adalah organisasi yang menaungi seluruh organisasi siswa yang ada di dalam sekolah. Sebagai organisasi tentunya OSIS juga harus memiliki kepengurusan dan AD/ART sebagai perangkat untuk menjalankan organisasi. Segala aturan yang ada di OSIS adalah juga berlaku pada organisasi yang menjadi “under bow”nya, dalam hal ini adalah seluruh organisasi siswa yang ada di sekolah atau yang disebut sebagai ekstrakulikuler (ekskul), antara lain; SISPALA (siswa pecinta alam), KIR (kelompok ilmiah remaja), ROHIS (), PASKIBRA (pasukan pengibar bendera), PRAMUKA (praja muda karana), dan PMR (Palang Merah remaja).

Anggota OSIS

Keanggotaan OSIS berlaku layaknya pemberian status kebangsaan Indonesia pada setiap orang di Indonesia. Maksudnya adalah, siapapun siswa yang masuk tidak akan diminta menjadi anggota OSIS melainkan otomatis menjadi anggota OSIS. Oleh karena itu, jangan heran bila semua siswa diharuskan menggunakan badge OSIS.
Pendek kata yang menjadi anggota OSIS adalah seluruh siswa di sekolah tersebut, dan anggota pengurus OSIS adalah siswa-siswa yang terpilih menjadi pengurus OSIS pada masa kepengurusan tertentu. Jadi kalau ada pertanyaan siapa anggota OSIS? Jawabannya adalah seluruh siswa yang identitasnya bisa dilihat dari badge-nya.

Anggota pengurus OSIS

Anggota pengurus OSIS ditentukan dalam AD/ART OSIS itu sendiri. Tapi sebaiknya berasal dari (mewakili seluruh) anggota ekskul yang ada di sekolah itu. Siapapun bisa menjadi anggota pengurus OSIS, karena semua siswa pasti (harus) adalah anggota ekskul tertentu. Apakah seharusnya anggota ekskul harus juga menjadi anggota pengurus di ekskulnya? Sebaiknya tidak, karena itu akan menjadi kontra produktif. Tapi itu tergantung dari aturan yang ada di suatu OSIS. Dalam perkembangan organisasi siswa kini, terdapat ’lembaga siswa’ yang terdiri dari berbagai utusan kelas yang mempunyai kewenangan salah satunya memilih siswa dibantu oleh MBO, yang bisa duduk sebagai pengurus OSIS. Lembaga siswa yang mempunyai kewenangan hampir menyerupai MPR dalam kelembagaan negara RI ini dikenal dengan istilah MPK atau Majelis Perwakilan Kelas.

Anggota ekstrakulikuler (ekskul)

Anggota ekskul adalah siswa-siswa yang memenuhi syarat aturan tentang keanggotaan ekskul yang dimaksud, biasanya termaktub dalam AD/ARTnya. Anggota pengurus ekskul juga adalah siswa-siswa anggota ekskul yang terpilih menjadi pengurus ekskul tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, OSIS tidak selayaknya menjadi “ekskul yang kesekian”, karena OSIS justru mengatur semua ekskul yang ada di sekolah itu. Peraturan yang diberlakukan di ekskul harus mengacu pada peraturan OSIS. Begitu juga program acara yang diadakan ekskul harus mengacu pada program acara OSIS. Acara OSIS juga harus melibatkan seluruh ekskul.
Jadi RAKER yang diadakan OSIS harus segera disosialisasikan ke setiap ekskul, dan RAKER ekskul harus mengacu hasil RAKER OSIS. Tidak boleh ada acara ekskul yang bentrok apalagi serupa dengan acara OSIS. Bila ada acara sebuah ekskul yang melibatkan ekskul lain harus diketahui OSIS, bahkan harus dibantu oleh OSIS dalam mengkoordinasikannya.
Selama ini OSIS tidak bertaring menghadapi atau mengatur ekskul, karena:
1. Kesadaran siswa-siswa tentang hakekat OSIS kurang, mungkin juga bukan cuma siswa biasa, pengurus OSISnya pun juga masih ada yang bingung.
2. Anggota OSIS tidak atau bukan mewakili (konstituen) dari ekskul yang berada dalam naungannya.
3. Kesombongan atau ekskulisivitas ekskul-ekskul, untuk hal yang satu ini yang harus segera dilakukan adalah :
a. Benahi dulu pengertian anggota OSIS, hak dan kewajibannya
b. Sosialisasikan pada siswa baru di MOS dengan jelas, dan tentunya ke seluruh ekskul
c. Benahi juga pengertian guru pembina tentang OSIS dan ekskul.
Bila koordinasi antara OSIS dan ekskul terjalin baik, tahu kedudukan dan wewenang masing-masing serta saling mendukung satu dengan lainnya, segala kegiatan yang sudah direncanakan melalui RAKER pastinya akan berjalan sukses. Dan dukungan berikut persetujuan dari berbagai pihak ’berwenang’ yang ada di sekolah mulai dari 1) ketua pelaksana, 2) ketua ekskul, 3) ketua OSIS, 4) pembina OSIS (kalau ada), 5) PKS bidang kesiswaan, 6) Kepala Sekolah atas sebuah program yang diadakan ekskul pasti akan memberikan restunya.
Dengan demikian tidak akan ada acara bentrok dengan acara lain, dan juga masalah pertanggungjawaban menjadi jelas. Kendati alur birokrasi menjadi agak panjang dan sangat menghambat persiapan program, tapi mendapat dukungan pertanggungjawaban pasti. Dahulukan Program acara yang ditentukan di RAKER, baru acara insidental. Oleh karena itu semua ekskul wajib membuat RAKER dan disosialisasikan. Artinya siswa bisa berargumentasi bahwa Program telah disetujui, dan tidak ada alasan untuk tidak dilaksanakan.

Struktur Organisasi

Pada dasarnya setiap OSIS di satu sekolah memiliki struktur organisasi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun, biasanya struktur keorganisasian dalam OSIS terdiri atas:
a) Pembimbing - (Biasanya adalah seorang guru ataupun kepala sekolah)
b) Ketua
c) Wakil Ketua
d) Bendahara
e) Sekretaris
f) Sekretaris Bidang (sekbid) yang mengurusi setiap kegiatan yang dilakukan siswa di sekolah.
Dan biasanya dalam struktur kepengurusan OSIS memiliki beberapa pengurus yang bertugas khusus mengkoordinasikan masing-masing kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah.

Demokrasi

0 komentar
1. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi

Demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri, merupakan salah satu impian terpenting umat manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang terbaik, memiliki kemampuan untuk berupaya dan berikhtiar serta memiliki hak untuk masa depan individu dan sosial mereka sendiri. Salah satu cara yang dianggap mampu menjadi jalan untuk mencapai masa depan yang lebih baik adalah dengan menerapkan demokrasi. Kata demokrasi mempunyai banyak sekali pengertian, yang ada kalanya pengertian tersebut berbeda satu sama lain. Salah satu pengertian yang sederhana dari kata demokrasi bisa kita ambil dari ucapan Abraham Lincoln, bekas presiden Amerika. Menurut Lincoln demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Isitilah "demokrasi" sendiri berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" sebetulnya berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan dalam suatu negara dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal, misal; narapidana atau bekas narapidana.

2. Pluralisme

The people of this world have been brought together technologically, but have not yet begun to understand what that means in a spiritual sense. We have to learn to live as brothers or we will perish as fools.
- Martin Luther King -

Pluralisme atau kemajemukan adalah suatu keniscayaan: ia pasti didapati pada setiap masyarakat dimana pun. Teristimewa pada saat ini, ketika teknologi transportasi dan komunikasi telah mencapai kemajuan sangat pesat, kemajemukan merupakan inevitable destiny di tingkat global-mondial maupun di tingkat bangsa Negara komunitas. Namun, sebagaimana dikatakan Martin Luther King, kemajemukan manusia yang difasilitasi teknologi tersebut rupanya belum mendapatkan pemaknaan spiritual secara benar. Secara teknis dan teknologi kita telah mampu untuk tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, namun secara spiritual kita belum memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur, yang antara lain mencakup perbedaan dalam hal agama, etnisitas, dan bahkan kelas social.
Kata pluralisme sendiri berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi pluralism adalah: "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia: "Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan)."
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

3. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
Berikut adalah beberapa hak asasi manusia (HAM):
a) Hak untuk hidup.
b) Hak untuk memperoleh pendidikan.
c) Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
d) Hak atas perlindungan yang sama didepan hukum.
e) Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
f) Hak atas proses sewajarnya dan pengadilan yang jujur.
g) Kebebasan berbicara, berpendapat dan pers.
h) Kebebasan beragama.
i) Kebebasan berkumpul dan berserikat.



PBB dan Hak Asasi Manusia

Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam "Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah "penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan."
Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang.
Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. Lantaran keyakinan ini, konsepsi-konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk "mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia "melindungi" hak itu.
Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) -komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut- untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil." Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk "melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama."
Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara" Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat "langkah-langkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya."
Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -suatu standar bagi kehidupan yang layak- dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.
Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Dan kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.
Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia.
Meski hak asasi manusia dianggap menetapkan standar minimal, deklarasi-deklarasi kontemporer tentang hak asasi manusia cenderung untuk mencantumkan hak dalam jumlah yang banyak dan bersifat khusus, dan bukannya sedikit serta bersifat umum. Deklarasi Universal menggantikan tiga hak umum yang diajukan oleh Locke -yakni hak atas kehidupan, kebebasan, dan kekayaan pribadi- dengan sekitar Hak Asasi Manusia dua lusin hak khusus. Di antara hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.
Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah "standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).
Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia. 7 Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.
Sejumlah kalangan mengusulkan agar suatu pernyataan hak asasi internasional di PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekadar suatu deklarasi melainkan juga tampil sebagai norma-norma yang didukung oleh prosedur penegakan yang mampu mengerahkan tekanan intemasional terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian yang senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan hak asasi manusia yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang, yaitu Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) serta Perjanjian Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights).
Lantaran permusuhan dalam era Perang Dingin saat itu, dan tamatnya dukungan bagi perjanjian hak asasi manusia yang dibuat Amerika Serikat, gerakan yang didasarkan pada Perjanjian Internasional ditangguhkan dalam waktu yang lama. Perjanjian itu belum juga disetujui Majelis Umum sampai 1966. Selama tahun-tahun tersebut ketika Perjanjian itu tampaknya tak berpengharapan, PBB mengeluarkan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang lebih terbatas yang bersangkutan dengan topik-topik yang relatif tidak kontroversial seperti pemusnahan suku bangsa/genosid, perbudakan, pengungsi, orang-orang tanpa kewarganegaraan, serta diskirminasi. Perjanjian-perjanjian ini umumnya ditandatangani oleh sejumlah besar negara -walau tidak ditandatangani oleh Amerika Serikat- dan lewat mereka PBB mulai memetik sejumlah pengalaman untuk menjalankan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.
Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan persetujuan akhir Majelis Umum bagi Perjanjian Intemasional yang keluar pada tahun 1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari kekuasaan penjajah, memasuki PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk menegakkan hak asasi manusia, namun mereka memodifikasikannya guna mewakili kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri: mengakhiri kolonialisme, mengutuk eksploitasi negara-negara Barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta menghancurkan apartheid dan diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut: keduanya berisi paragraf-paragraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan atas ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal, dihapuskan dari Perjanjian itu.
Setelah persetujuan dari Majelis Umum keluar pada tahun 1966, Perjanjian itu memerlukan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima menerakan tandatangan pada tahun 1976, dan Perjanjian itu kini berlaku sebagai hukum internasional.

Organisasi

0 komentar
Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat. Pengertian organisasi telah banyak disampaikan para ahli, tetapi pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip, dan sebagai bahan perbandingan akan disampaikan beberapa pendapat sebagai berikut :
a. Chester I. Barnard (1938) dalam bukunya “The Executive Functions” mengemukakan bahwa: “ Organisasi adalah system kerjasama antara dua orang atau lebih” (I define organization as a system of cooperatives of two more persons)
b. James D. Mooney mengatakan bahwa: “Organization is the form of every human association for the attainment of common purpose” (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama)
c. Menurut Dimock, organisasi adalah: “Organization is the systematic bringing together of interdependent part to form a unified whole through which authority, coordination and control may be exercised to achive a given purpose” (organisasi adalah perpaduan secara sistematis daripada bagian-bagian yang saling ketergantungan/berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan yang bulat melalui kewenangan, koordinasi dan pengawasan dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan).

Dari beberapa pengertian organisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap organisasi harus memiliki tiga unsur dasar, yaitu :
a. Orang-orang (sekumpulan orang),
b. Kerjasama,
c. Tujuan yang ingin dicapai,
Dengan demikian organisasi merupakan sarana untuk melakukan kerjasama antara orang-orang dalam rangka mencapai tujuan bersama, dengan mendayagunakan sumber daya yang dimiliki.

2. Ciri-Ciri Organisasi

Seperti telah diuraikan di atas bahwa organisasi memiliki tiga unsur dasar, dan secara lebih rinci organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Adanya suatu kelompok orang yang dapat dikenal dan saling mengenal,
b. Adanya kegiatan yang berbeda-beda, tetapi satu sama lain saling berkaitan (interdependent part) yang merupakan kesatuan kegiatan,
c. Tiap-tiap orang memberikan sumbangan atau kontribusinya berupa; pemikiran, tenaga, dan lain-lain,
d. Adanya kewenangan, koordinasi dan pengawasan,
e. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

3. Prinsip-Prinsip Organisasi

Prinsip-prinsip organisasi banyak dikemukan oleh para ahli, salah satunya A.M. Williams yang mengemukakan pendapatnya cukup lengkap dalam bukunya “Organization of Canadian Government Administration” (1965), bahwa prinsip-prinsip organisasi meliputi:
1) Prinsip bahwa Organisasi Harus Mempunyai Tujuan yang Jelas,
2) Prinsip Skala Hirarkhi,
3) Prinsip Kesatuan Perintah,
4) Prinsip Pendelegasian Wewenang,
5) Prinsip Pertanggungjawaban,
6) Prinsip Pembagian Pekerjaan,
7) Prinsip Rentang Pengendalian,
8) Prinsip Fungsional,
9) Prinsip Pemisahan,
10) Prinsip Keseimbangan,
11) Prinsip Fleksibilitas,
12) Prinsip Kepemimpinan.

a) Organisasi Harus Mempunyai Tujuan yang Jelas.
Organisasi dibentuk atas dasar adanya tujuan yang ingin dicapai, dengan demikian tidak mungkin suatu organisasi tanpa adanya tujuan. Misalnya, organisasi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas sebagai suatu organisasi, mempunyai tujuan yang ingin dicapai antara lain, memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan lain lain.
b) Prinsip Skala Hirarkhi.
Dalam suatu organisasi harus ada garis kewenangan yang jelas dari pimpinan, pembantu pimpinan sampai pelaksana, sehingga dapat mempertegas dalam pendelegasian wewenang dan pertanggungjawaban, dan akan menunjang efektivitas jalannya organisasi secara keseluruhan.
c) Prinsip Kesatuan Perintah.
Dalam hal ini, seseorang hanya menerima perintah atau bertanggung jawab kepada seorang atasan saja.
d) Prinsip Pendelegasian Wewenang.
Seorang pemimpin mempunyai kemampuan terbatas dalam menjalankan pekerjaannya, sehingga perlu dilakukan pendelegasian wewenang kepada bawahannya. Pejabat yang diberi wewenang harus dapat menjamin tercapainya hasil yang diharapkan. Dalam pendelegasian, wewenang yang dilimpahkan meliputi kewenangan dalam pengambilan keputusan, melakukan hubungan dengan orang lain, dan mengadakan tindakan tanpa minta persetujuan lebih dahulu kepada atasannya lagi.
e) Prinsip Pertanggungjawaban.
Dalam menjalankan tugasnya setiap pegawai harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada atasan.
f) Prinsip Pembagian Pekerjaan.
Suatu organisasi, untuk mencapai tujuannya, melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan. Agar kegiatan tersebut dapat berjalan optimal maka dilakukan pembagian tugas/pekerjaan yang didasarkan kepada kemampuan dan keahlian dari masing-masing pegawai. Adanya kejelasan dalam pembagian tugas, akan memperjelas dalam pendelegasian wewenang, pertanggungjawaban, serta menunjang efektivitas jalannya organisasi.
g) Prinsip Rentang Pengendalian.
Artinya bahwa jumlah bawahan atau staf yang harus dikendalikan oleh seorang atasan perlu dibatasi secara rasional. Rentang kendali ini sesuai dengan bentuk dan tipe organisasi, semakin besar suatu organisasi dengan jumlah pegawai yang cukup banyak, semakin kompleks rentang pengendaliannya.
h) Prinsip Fungsional.
Bahwa seorang pegawai dalam suatu organisasi secara fungsional harus jelas tugas dan wewenangnya, kegiatannya, hubungan kerja, serta tanggung jawab dari pekerjaannya.
i) Prinsip Pemisahan.
Bahwa beban tugas pekerjaan seseorang tidak dapat dibebankan tanggung jawabnya kepada orang lain.
j) Prinsip Keseimbangan.
Keseimbangan antara struktur organisasi yang efektif dengan tujuan organisasi. Dalam hal ini, penyusunan struktur organisasi harus sesuai dengan tujuan dari organisasi tersebut. Tujuan organisasi tersebut akan diwujudkan melalui aktivitas/ kegiatan yang akan dilakukan. Organisasi yang aktivitasnya sederhana (tidak kompleks) contoh ‘koperasi di suatu desa terpencil’, struktur organisasinya akan berbeda dengan organisasi koperasi yang ada di kota besar seperti di Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
k) Prinsip Fleksibilitas
Organisasi harus senantiasa melakukan pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan dinamika organisasi sendiri (internal factor) dan juga karena adanya pengaruh di luar organisasi (external factor), sehingga organisasi mampu menjalankan fungsi dalam mencapai tujuannya.
l) Prinsip Kepemimpinan.
Dalam organisasi apapun bentuknya diperlukan adanya kepemimpinan, atau dengan kata lain organisasi mampu menjalankan aktivitasnya karena adanya proses kepemimpinan yang digerakan oleh pemimpin organisasi tersebut.

4. Jenis-jenis Organisasi

Pengelompokan jenis organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
a. Berdasarkan jumlah orang yang memegang pucuk pimpinan.
(1) bentuk tunggal, yaitu pucuk pimpinan berada ditangan satu orang, semua kekuasaan dan tugas pekerjaan bersumber kepada satu orang. (2) bentuk komisi, pimpinan organisasi merupakan suatu dewan yang terdiri dari beberapa orang, semua kekuasaan dan tanggung jawab dipikul oleh dewan sebagai suatu kesatuan.
b. Berdasarkan lalu lintas kekuasaan.
Bentuk organisasi ini meliputi;
(1) organisasi lini atau bentuk lurus, kekuasaan mengalir dari pucuk pimpinan organisasi langsung lurus kepada para pejabat yang memimpin unit-unit dalam organisasi, (2) bentuk lini dan staff, dalam organisasi ini pucuk pimpinan dibantu oleh staf pimpinan ahli dengan tugas sebagai pembantu pucuk pimpinan dalam menjalankan roda organisasi, (3) bentuk fungsional, bentuk organisasi dalam kegiatannya dibagi dalam fungsi-fungsi yang dipimpin oleh seorang ahli dibidangnya, dengan hubungan kerja lebih bersifat horizontal.
c. Berdasarkan sifat hubungan personal, yaitu;
(1) organisasi formal, adalah organisasi yang diatur secara resmi, seperti : organisasi pemerintahan, organisasi yang berbadan hukum (2) organisasi informal, adalah organisasi yang terbentuk karena hubungan bersifat pribadi, antara lain kesamaan minat atau hobby, dll.
d. Berdasarkan tujuan.
Organisasi ini dapat dibedakan, yaitu:
(1) organisasi yang tujuannya mencari keuntungan atau ‘profit oriented’ dan (2) organisasi sosial atau ‘non profit oriented ‘
e. Berdasarkan kehidupan dalam masyarakat, yaitu;
(1) organisasi pendidikan, (2) organisasi kesehatan, (3) organisasi pertanian, dan lain lain.
f. Berdasarkan fungsi dan tujuan yang dilayani, yaitu:
(1) Organisasi produksi, misalnya organisasi produk makanan, (2) Organisasi berorientasi pada politik, misalnya partai politik, (3) Organisasi yang bersifat integratif, misalnya serikat pekerja, (4) Organisasi pemelihara, misalnya organisasi peduli lingkungan, dan lain lain.
g. Berdasarkan pihak yang memakai manfaat.
Organisasi ini meliputi;
(1) Mutual benefit organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya terutama dinikmati oleh anggotanya, seperti koperasi, (2) Service organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya dinikmati oleh pelanggan, misalnya bank, (3) Business Organization, organisasi yang bergerak dalam dunia usaha, seperti perusahaan-perusahaan, (4) Commonwealth organization, adalah organisasi yang kemanfaatannya terutama dinikmati oleh masyarakat umum, seperti organisasi pelayanan kesehatan, contohnya rumah sakit, Puskesmas, dll.

5. Membangun Jaringan

Dalam sejarahnya, berjejaring dalam masyarakat Indonesia bukanlah sebuah hal baru. Semenjak pra kemerdekaan rakyat Indonesia telah menyadari bahwa berjejaring adalah salah satu alat perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Salah satunya adalah kaum muda berkumpul dari seluruh pelosok tanah air untuk membuat sebuah kesepakatan bersama dalam Sumpah Pemuda. Berjejaring kemudian diyakini sebagai salah satu alat strategis dalam mencapai sebuah tujuan.
Berbagai kelompok masyarakat sipil yang berkembang pada tahun 1980an pun amat sadar akan pentingnya sebuah jaringan dalam mengadvokasi isu-isunya. Dengan semakin besarnya sebuah jaringan maka diharapkan akan meluasnya solidaritas dan menguatnya dukungan publik. Pekerjaan pun mungkin akan lebih ringan, karena sumber daya semakin bertambah. Itu adalah hal ideal yang diharapkan dari sebuah bangunan jaringan.
Jaringan atau sering juga disebut dengan nama aliansi ada dua macam bentuknya, yaitu aliansi yang bersifat strategis dan aliansi yang bersifat taktis. Aliansi tektis lebih bersifat sementara. Sedangkan aliansi strategis umumnya bertujuan untuk jangka waktu lebih lama karena mengandung banyak hal yang diakomodir mulai dari kesamaan visi maupun cara yang akan ditempuh bersama.
Jaringan ini bisa terdiri dari kelompok yang memiliki kesamaan isu dalam aktivitas ataupun sebaliknya justru isu tersebut dapat memberi dampak terhadap tujuan kelompok mereka. Jaringan biasanya dilakukan untuk mencapai kepentingan. Jika kepentingan tersebut bisa dicapai oleh satu kelompok saja maka jaringan biasanya tidak dibutuhkan, namun hal ini tergantung pula pada isu dan maksud dari kelompok tersebut.
Untuk membangun jaringan sendiri sebenarnya tidak cukup sulit. Pendekatan dalam jaringan dilakukan dengan pendekatan personal. Propaganda isu meskipun dilakukan tapi tidak menjadi focus utama yang terpenting adalah sensitivitas perkawanan dan solidaritas yang tinggi diantara kelompok yang menggugah jaringan tersebut bisa terbentuk. Belajar dari berbagai kerja jaringan masyarakat sipil yang ada, terdapat dua prinsip yang tidak bisa diabaikan dalam membangun jaringan yaitu:
a. Persoalan komitmen yang baiknya diatur dalam anggaran rumah tangga dalam jaringan. Komitmen ini juga diikat dalam struktur pogram sehingga bisa diukur dalam kerja-kerja dan pelaksanaan tanggungjawabnnya.
b. Adanya kesetaraan, demokratis dalam artian semua anggota jaringan dilibatkan daalam pengambilan dan implementasi sebuah keputusan. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah dalam jaringan.
Dalam setiap hubungan apapun, komunikasi efektif adalah titik sentral dalam menjembatani setiap perbedaan termasuk didalamnya perbedaan dalam mempersepsi, dalam keluarga, persahabatan, bisnis, team work, apapun. Selain komunikasi hal lain yang juga tidak bisa disepelekan adalah komitmen bersama para individu yang terlibat dalam jaringan itu sendiri yang kuat untuk menyelesaikan masalah bersama sehingga jaringan menjadi solid dalam menjalankan program. Karena makna sebuah kerja berjaringan sendiri adalah sebuah consensus atau kesepakatan bersama antar berbagai organisasi untuk menjalankan tuntutan bersama dalam sebuah kerja sama. Artinya harus ada kerelaan dari semua pihak untuk mau terlibat secara serius dan menjalankan apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam jaringa itu. Jadi masing-masing organisasi harus punya komitmen kuat untuk mau melaksanakan semua kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Berhasil tidaknya jaringan yang dibangun tidak hanya dilihat ketika program atau tuntutan tercapai tapi juga diukur dari proses kerja jaringan itu sendiri. Apa artinya tuntutan bisa tercapai tapi jika pada akhirnya terjadi klaim-klaim atau bentrok sendiri diantara anggota jaringan. Karena itu keberhasilan membangun jaringan juga diukur ketika jaringan mulai berproses membangun konsesnsus atau kesepakatan dengan anggota jaringan untuk mencapai program atau tuntutan dari jaringan dimaksud.
Jika consensus atau kesepakatan ini bisa terbangun dan masing-masing anggota jaringan menyadari sepenuhnya peran-peran mereka dalam jaringan serta melaksanakan apa yang telah disepakati dalam jaringan maka kita bisa mengatakan bahwa jaringan ini telah berhasil. Persoalan apakah kemudian tuntutan bisa atau tidak itu adalah persoalan waktu. Tapi bagaimana terjadi perluasan pengorganisasian, keluasan mobilisasi antar anggota jaringan dan berhasil melakukan kerja secara kolektif diantara para pendukung inilah yang menjadi ukuran keberhasilan dari pembangunan jaringan ini. Apalagi jika tercapai solidaritas dan saling percaya diantara sesame pendukungnya. Jika hal ini benar-benar terjadi sekali lagi pencapaian tuntutan tinggal menunggu waktu, kemenangan bisa dipastikan pasti ditangan.

Sabtu, 21 Maret 2009

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI MELALUI PELAJARAN SEJARAH

0 komentar
Demokrasi diruang kelas

Oleh : Dra.Agnes Wahyurini Widiastuti

tentang penulis

Dra. Agnes Wahyurini W. Lahir di Ambarawa Jawa Tengah tanggal 21 Januari 1963. Ibu guru yang selalu berpenampilan sangat rapi ini adalah alumni Jurusan Antropologi Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) tahun 1986. Kendatipun bukan dari fakultas keguruan, keinginan untuk mendedikasikan diri di bidang pendidikan telah dimulai sejak masih di bangku kuliah. Beliau pernah mengajar di STM Tunas Pembangunan 1 Surakarta (1985 – 1987) yang sekaligus merupakan pengalaman pertamanya sebagai guru Sejarah dan PSPB. Karir mengajarnya berlanjut di STM PGRI Surakarta, di SMA Soegiyapranata Pontianak (1994 – 2003), di SMA Kristen Immanuel Pontianak (2003 – 2004), di SMA Santo Paulus (2003 – sekarang) dan mengajar di SMA Negeri 1 Pontianak dari tahun 1991 sampai sekarang. Pelajaran Sejarah merupakan salah satu pelajaran yang diampu di semua sekolah yang pernah dilaluinya, di samping beberapa pelajaran lainnya.


Pengantar
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal jasa pahlawannya, demikianlah ungkapan yang selalu diungkapkan untuk mendorong bangsa agar mengenal para pejuang yang telah berjasa dalam kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Salah satu media untuk mengenalkan riwayat hidup para pahlawan yang telah berjuang dalam memerdekakan negara kepada siswa adalah melalui pelajaran Sejarah.
Mata pelajaran Sejarah di kelas X sesuai dengan kurikulum 2004 hanya diajarkan sebanyak 1 jam pelajaran (1 x 45 menit) perminggunya, dengan demikian diperlukan persiapan yang baik, termasuk dalam merencang model dan metode pembelajaran agar waktu yang sangat singkat tersebut dapat digunakan seefektif dan seoptimal mungkin, disamping itu perlu juga dipertimbangan suatu model dan metode yang menyenagkan serta memberi ruang bagi untuk berekspresi serta membangun nilai-nilai demokratis.
Dalam uji coba pembelajaran yang berperspektif demokrasi di kelas X SMA Negeri 1 Pontianak, dimana jumlah siswanya sebanyak 40 orang siswa dengan komposisi 18 orang laki-laki dan 22 orang perempuan, saya menggunakan model pembelajaran Mind Mapping, yaitu suatu model pembelajaran yang memberikan pemahaman dengan pemberian informasi, diskusi dan menganalisis. Model ini saya pilih karena sesuai dengan materi ajar pada Kompetensi Dasar 1 yang berisi tentang “pengertian sejarah, sumber sejarah, sifat-sifat sejarah, ruang lingkup sejarah dan hakekat sejarah.” Model pembelajaran Mind Mapping pada materi tersebut dapat saya gunakan untuk mengembangkan proses demokrasi pada siswa dalam berbagai aktivitas belajar melalui materi pembelajaran tersebut.
Sebagai pengembangan dari model ini saya gunakan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, dan presentasi/simulasi. Karena kurikulum tahun 2006/2007 di SMAN 1 Pontianak menggunakan KTSP dan jam belajar hanya 1 jam pelajaran (45 menit), saya dalam melakukan uji coba menggunakan tahapan dan dilakukan pencatatan.

Implementasi Model Pembelajaran Mind Mapping
Proses kegiatan belajar mengajar diawali dengan mengabsensi siswa, kemudian menjelaskan tujuan pembelajaran, inti materi pembelajaran, aspek penilaian, dan proses pembelajaran. Selanjutnya saya menggali kemampuan awal siswa, sekaligus membangkitkan motivasi siswa untuk berpendapat sesuai pengalaman dan pemahamannya tentang sejarah. Setelah itu siswa saya bagi menjadi empat kelompok secara acak dengan menggunakan undian kertas yang berisi tulisan A, B, C, dan D. Masing-masing anak mengambil satu-persatu. Kemudian mereka mengelompok sesuai dengan huruf yang mereka peroleh tanpa membedakan etnis, jenis kelamin, maupun tingkat kepandaian mereka.
Langkah berikutnya yaitu memberikan tugas pada masing-masing kelompok untuk memilih 2 siswa laki-laki dan perempuan dengan etnis yang berbeda untuk mewakili kelompok. Kemudian mereka menyampaikan informasi tentang riwayat hidup dari wakil-wakil kelompok secara bergantian dan siswa yang lain mencatat informasi/data yang disampaikan oleh temannya tersebut dalam buku catatan masing-masing. Mengingat alokasi waktu pertemuan dalam pelajaran Sejarah terbatas, maka materi dilanjutkan pada pertemuan kedua.

Pada pertemuan kedua, siswa melanjutkan proses pemberian informasi riwayat hidup secara bergantian antarkelompok. Dalam penyampaian ini ternyata sudah mulai muncul kreativitas siswa. Ada yang membawa foto-foto masa kecil mereka, ada juga yang menggunakan papan tulis untuk menggambar keluarga mereka. Tiap siswa membuat catatan lanjutan dari semua informasi yang dianggap penting. Siswa lain sebagai pendengar diberi kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang dirasakan masih kurang jelas.
Setelah semua wakil kelompok menyampaikan riwayat hidupnya, pertemuan ketiga dimulai dengan diskusi kelompok. Diskusi kelompok tersebut untuk mencari persamaan tentang waktu kejadian, mengidentifikasi waktu dan peristiwa, sumber atau bukti-bukti sejarah yang telah disampaikan dan membedakan beberapa rangkaian dalam bentuk peristiwa, kisah, ilmu maupun seni. Materi diskusi ini saya bagi pada tiap kelompok dengan proses yang sama dengan sebelumnya, yaitu melalui cabut undi.
Pada saat pelaksanaan diskusi kelompok saya memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih tempat yang lebih menyenangkan, misalnya ada yang memilih di bawah pohon dan duduk di lantai, karena lebih mudah untuk bekerja secara berkelompok. Tapi ada juga siswa yang tergabung dalam satu kelompok menggeser tempat duduk dan meja belajarnya. Di akhir jam pelajaran yang hanya berlangsung dalam 1 jam pelajaran, ada beberapa kelompok yang belum dapat menyelesaikan rumusan diskusi kelompok mereka. Biasanya disebabkan adanya perbedaan pendapat yang tajam di antara anggota kelompok. Diskusi ini bisa dilanjutkan setelah pulang sekolah dalam bentuk kelompok belajar.
Di pertemuan berikutnya masing-masing wakil kelompok memaparkan hasil diskusi kelompoknya, serta mengevaluasi proses dan hasil diskusi kelompok. Pada bagian akhir kegiatan, siswa secara bersama-sama diajak untuk menyimpulkan tentang topik yang dibahas dan menemukan apa manfaat belajar sejarah.

Hambatan yang Dialami dan Cara Mengatasinya
Kesulitan yang paling utama dalam pengembangan model pembelajaran, khususnya pelajaran Sejarah di kelas X dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), adalah jam tatap muka untuk belajar yang hanya 1 jam pelajaran atau sama dengan 45 menit dalam satu minggu. Akibatnya uji coba yang saya lakukan menjadi terputus-putus dalam proses pengamatannya. Untuk mengatasi keterbatasan waktu belajar ini dilakukan pengelompokkan atau membagi aktivitas siswa dengan pentahapan yang jelas. Melalui model pembelajaran ini saya bisa mendapatkan masukan dari siswa mengenai Kompetensi Dasar dan materi yang sedang dipelajari berdasarkan proses pemahaman mereka dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Pada prinsipnya pihak sekolah memberikan kebebasan pada guru untuk mempraktikkan berbagai kreativitas model pembelajaran yang akan lebih memacu kompetensi siswa. Sedangkan bagi siswa sendiri penerapan model pembelajaran yang demokratis ini ternyata lebih membangun semangat belajar dan pelajaran menjadi tidak membosankan.

Perubahan Kelas Pasca Uji Coba
Banyak orang selalu berasumsi bahwa belajar sejarah merupakan hal yang paling menjemukan karena selalu berorientasi pada masa lampau. Jadi seolah-olah sejarah tidak memberikan manfaat di dunia modern, dengan tantangan yang dihadapi di zaman sekarang ini. Banyak orang lupa bahwa perkembangan pengetahuan selalu dimulai dari masa lampau yang mengalami proses perkembangan hingga sekarang ini, banyak hal yang bisa digali dari masa lampau, sehingga bermanfaat sebagai pedoman si masa sekarang dan masa yang akan datang.
Namun wawasan pemikiran bahwa belajar sejarah membosankan dan tidak menarik ini berkembang pada sebagian besar anak didik. Keadaan seperti ini semakin lebih tidak menarik lagi apabila guru yang mengajar kurang dapat mengembangkan kreativitas model belajar Sejarah yang menarik dan menyenangkan. Pendapat bahwa belajar Sejarah itu membosankan dan tidak menarik pada akhirnya menjadi suatu kenyataan.
Dengan adanya lokakarya pendidikan berbasis demokrasi yang diselenggarakan Yayasan Madanika telah membuka wawasan saya dalam melakukan proses pembelajaran Sejarah. Melalui ingatan siswa yang didukung dengan berbagai kreativitas pembelajaran yang menarik, sejarah bukan lagi sesuatu yang bersifat hapalan semata. Proses yang lebih penting adalah membangun pemahaman melalui peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cara ini akan menjadi sesuatu hal yang baru dalam mempelajari Sejarah dan dapat membangun minat belajar. Sejarah menjadi lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Bahkan belajar Sejarah menjadi sesuatu yang ditunggu oleh siswa.
Kemampuan menyerap dan memahami materi akan terjadi lebih mudah karena dapat kita hubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang kita alami. Materi KD 1 di pelajaran Sejarah kelas X memungkinkan saya dapat melakukan pengembangan model pembelajaran sejarah secara demokratis, karena masih berkaitan dengan pengertian dan sumber-sumber. Kedudukan saya sebagai fasilitator sebatas memberikan pengarahan untuk dapat membangun kreativitas dan kemampuan siswa. Di antara siswa semakin berkembang nilai-nilai dan sikap positif, misalnya pada saat diskusi dilakukan mereka dapat menghargai pendapat orang lain, muncul sikap tolerasi, tanggung jawab, kerja sama, kreatif dan lain-lain.
Pada pertemuan pertama di tahun ajaran baru 2006/2007, dalam rangka menggali kemampuan awal siswa kelas X yang latar belakang sekolahnya berbeda-beda, saya membuka pertemuan dengan pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan Sejarah?” Pada waktu itu yang berani mencoba menjawab secara spontan hanya satu siswa, suasana kelas masih terasa kaku atau tegang. Maka di pertemuan berikutnya saya mulai menerapkan model pembelajaran yang berperspektif demokrasi dengan membangun suasana belajar yang menyenangkan.
Setiap mulai belajar Sejarah saya buka dengan yel-yel yang saya istilahkan dengan Salam Sejarah, bentuknya dengan sapaan: “ Hallloo….” Siswa kemudian menjawab: “Haaiii……,” sambil melambaikan tangan. Saya lanjutkan kembali dengan sapaan: “Apa kabar…???”, mereka menjawab: “Luar biasa…..!!!,” sambil mengacungkan ibu jari mereka. Saya lanjutkan dengan menanyakan: “Semua sehat...??,” lalu dijawab dengan meneriakkan “AAuuuuooooo….,” sambil berdiri dan menepuk dada (seperti dalam film Tarzan). Dari contoh kecil itu ternyata mampu memberikan perubahan pada suasana belajar, yang akhirnya menjadi tidak kaku dan lebih menyenangkan.
Hal kecil yang saya lakukan ini ternyata membangun keberanian pada diri siswa untuk semakin percaya diri. Siswa yang pada awalnya masih malu-malu, mulai berani bertanya. Saya mencoba mengubah kebiasaan bertanya dan menjawab yang selama ini dengan menunjuk atau mengangkat tangan dengan cara yang berbeda. Siswa yang akan bertanya dan menjawab diharuskan untuk berdiri dan mengatakan: “Saya anak Indonesia. Yess…!!!” Di pertemuan awal ketika suasana belajar sudah mulai “mencair” pertanyaan yang disampaikan oleh siswa menjadi cukup beragam. Misalnya: usulan untuk melakukan perkenalan lebih dulu, ada yang bertanya tentang status, ada yang bertanya tentang pengalaman mengajar, dan lain-lain.
Begitu juga pada saat siswa diminta pendapatnya tentang sekolah yang baru dan suasana belajar yang dihadapi sekarang ini, awalnya siswa yang berani menanggapi hanya 5 anak saja. Perubahan baru terlihat pada saat dilakukan presentasi hasil diskusi. Di situ telah muncul keberanian berpendapat yang cukup menggembirakan dari para siswa. Mereka cukup kritis dalam menanggapi suatu masalah dan dapat menemukan hal-hal baru berkaitan dengan masalah tersebut. Misalnya, pada satu kelompok hanya dapat menemukan persamaan data tentang peristiwa riwayat hidup mereka berupa kelahiran. Tetapi kelompok-kelompok lain dapat menemukan sesuatu yang baru, seperti waktu yang dibuktikan dengan tanggal kelahiran, bahkan tempat kejadiannya, termasuk pelakunya yaitu siswa yang dilahirkan.
Apa yang disampaikan oleh siswa tersebut pada intinya adalah contoh dari bagian syarat sumber tertulis yang ditemukan siswa ketika terjadi pengembangan proses belajar dengan model yang lebih demokratis. Siswa sendiri yang akhirnya menemukan konsep-konsep dalam sejarah, yang dilakukan melalui analisis informasi yang disampaikan oleh teman-teman mereka, mulai dari kelahiran sampai mereka belajar di sekolah.
Proses pembelajaran sejarah yang dilakukan secara demokratis tersebut ternyata membawa perubahan baru, meskipun itu kecil bentuknya. Salah satu di antaranya adalah pengaruh yang ditimbulkannya terhadap bidang studi yang lain. Ada beberapa guru yang juga telah memulai pelajaran dengan meneriakkan yel bersama-sama, ada juga yang melakukan pengembangan model pembelajaran untuk membanguan suasana yang lebih menyenangkan, sehingga dapat menimbulkan semangat dan minat belajar menjadi lebih baik.
Aktivitas belajar siswa, baik secara individu maupun kelompok, pada umumnya berlangsung baik. Semua dilakukan siswa dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab. Hal itu terbukti pada saat pembagian tugas yang dilakukan di tiap-tiap kelompok. Siswa yang kebetulan mendapat tugas membuat ilustrasi dari tampilan hasil kerja kelompok terbukti cukup kreatif dalam mengerjakan tugasnya. Perubahan positif pun terlihat dari prestasi siswa yang meningkat, yang ditunjukkan dari hasil pre-test masing-masing siswa. Seluruh siswa mengalami ketuntasan belajar sesuai dengan Standar Ketuntasan Belajar Minimal.
Dengan metode pembelajaran yang berbasis demokrasi, belajar Sejarah menjadi lebih menarik dan menyenangkan, sehingga Sejarah akhirnya dapat diminati oleh siswa.
 

kampung anak Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez