Pengikut

Sabtu, 21 Maret 2009

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI MELALUI PELAJARAN SEJARAH


Demokrasi diruang kelas

Oleh : Dra.Agnes Wahyurini Widiastuti

tentang penulis

Dra. Agnes Wahyurini W. Lahir di Ambarawa Jawa Tengah tanggal 21 Januari 1963. Ibu guru yang selalu berpenampilan sangat rapi ini adalah alumni Jurusan Antropologi Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) tahun 1986. Kendatipun bukan dari fakultas keguruan, keinginan untuk mendedikasikan diri di bidang pendidikan telah dimulai sejak masih di bangku kuliah. Beliau pernah mengajar di STM Tunas Pembangunan 1 Surakarta (1985 – 1987) yang sekaligus merupakan pengalaman pertamanya sebagai guru Sejarah dan PSPB. Karir mengajarnya berlanjut di STM PGRI Surakarta, di SMA Soegiyapranata Pontianak (1994 – 2003), di SMA Kristen Immanuel Pontianak (2003 – 2004), di SMA Santo Paulus (2003 – sekarang) dan mengajar di SMA Negeri 1 Pontianak dari tahun 1991 sampai sekarang. Pelajaran Sejarah merupakan salah satu pelajaran yang diampu di semua sekolah yang pernah dilaluinya, di samping beberapa pelajaran lainnya.


Pengantar
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal jasa pahlawannya, demikianlah ungkapan yang selalu diungkapkan untuk mendorong bangsa agar mengenal para pejuang yang telah berjasa dalam kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Salah satu media untuk mengenalkan riwayat hidup para pahlawan yang telah berjuang dalam memerdekakan negara kepada siswa adalah melalui pelajaran Sejarah.
Mata pelajaran Sejarah di kelas X sesuai dengan kurikulum 2004 hanya diajarkan sebanyak 1 jam pelajaran (1 x 45 menit) perminggunya, dengan demikian diperlukan persiapan yang baik, termasuk dalam merencang model dan metode pembelajaran agar waktu yang sangat singkat tersebut dapat digunakan seefektif dan seoptimal mungkin, disamping itu perlu juga dipertimbangan suatu model dan metode yang menyenagkan serta memberi ruang bagi untuk berekspresi serta membangun nilai-nilai demokratis.
Dalam uji coba pembelajaran yang berperspektif demokrasi di kelas X SMA Negeri 1 Pontianak, dimana jumlah siswanya sebanyak 40 orang siswa dengan komposisi 18 orang laki-laki dan 22 orang perempuan, saya menggunakan model pembelajaran Mind Mapping, yaitu suatu model pembelajaran yang memberikan pemahaman dengan pemberian informasi, diskusi dan menganalisis. Model ini saya pilih karena sesuai dengan materi ajar pada Kompetensi Dasar 1 yang berisi tentang “pengertian sejarah, sumber sejarah, sifat-sifat sejarah, ruang lingkup sejarah dan hakekat sejarah.” Model pembelajaran Mind Mapping pada materi tersebut dapat saya gunakan untuk mengembangkan proses demokrasi pada siswa dalam berbagai aktivitas belajar melalui materi pembelajaran tersebut.
Sebagai pengembangan dari model ini saya gunakan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, dan presentasi/simulasi. Karena kurikulum tahun 2006/2007 di SMAN 1 Pontianak menggunakan KTSP dan jam belajar hanya 1 jam pelajaran (45 menit), saya dalam melakukan uji coba menggunakan tahapan dan dilakukan pencatatan.

Implementasi Model Pembelajaran Mind Mapping
Proses kegiatan belajar mengajar diawali dengan mengabsensi siswa, kemudian menjelaskan tujuan pembelajaran, inti materi pembelajaran, aspek penilaian, dan proses pembelajaran. Selanjutnya saya menggali kemampuan awal siswa, sekaligus membangkitkan motivasi siswa untuk berpendapat sesuai pengalaman dan pemahamannya tentang sejarah. Setelah itu siswa saya bagi menjadi empat kelompok secara acak dengan menggunakan undian kertas yang berisi tulisan A, B, C, dan D. Masing-masing anak mengambil satu-persatu. Kemudian mereka mengelompok sesuai dengan huruf yang mereka peroleh tanpa membedakan etnis, jenis kelamin, maupun tingkat kepandaian mereka.
Langkah berikutnya yaitu memberikan tugas pada masing-masing kelompok untuk memilih 2 siswa laki-laki dan perempuan dengan etnis yang berbeda untuk mewakili kelompok. Kemudian mereka menyampaikan informasi tentang riwayat hidup dari wakil-wakil kelompok secara bergantian dan siswa yang lain mencatat informasi/data yang disampaikan oleh temannya tersebut dalam buku catatan masing-masing. Mengingat alokasi waktu pertemuan dalam pelajaran Sejarah terbatas, maka materi dilanjutkan pada pertemuan kedua.

Pada pertemuan kedua, siswa melanjutkan proses pemberian informasi riwayat hidup secara bergantian antarkelompok. Dalam penyampaian ini ternyata sudah mulai muncul kreativitas siswa. Ada yang membawa foto-foto masa kecil mereka, ada juga yang menggunakan papan tulis untuk menggambar keluarga mereka. Tiap siswa membuat catatan lanjutan dari semua informasi yang dianggap penting. Siswa lain sebagai pendengar diberi kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang dirasakan masih kurang jelas.
Setelah semua wakil kelompok menyampaikan riwayat hidupnya, pertemuan ketiga dimulai dengan diskusi kelompok. Diskusi kelompok tersebut untuk mencari persamaan tentang waktu kejadian, mengidentifikasi waktu dan peristiwa, sumber atau bukti-bukti sejarah yang telah disampaikan dan membedakan beberapa rangkaian dalam bentuk peristiwa, kisah, ilmu maupun seni. Materi diskusi ini saya bagi pada tiap kelompok dengan proses yang sama dengan sebelumnya, yaitu melalui cabut undi.
Pada saat pelaksanaan diskusi kelompok saya memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih tempat yang lebih menyenangkan, misalnya ada yang memilih di bawah pohon dan duduk di lantai, karena lebih mudah untuk bekerja secara berkelompok. Tapi ada juga siswa yang tergabung dalam satu kelompok menggeser tempat duduk dan meja belajarnya. Di akhir jam pelajaran yang hanya berlangsung dalam 1 jam pelajaran, ada beberapa kelompok yang belum dapat menyelesaikan rumusan diskusi kelompok mereka. Biasanya disebabkan adanya perbedaan pendapat yang tajam di antara anggota kelompok. Diskusi ini bisa dilanjutkan setelah pulang sekolah dalam bentuk kelompok belajar.
Di pertemuan berikutnya masing-masing wakil kelompok memaparkan hasil diskusi kelompoknya, serta mengevaluasi proses dan hasil diskusi kelompok. Pada bagian akhir kegiatan, siswa secara bersama-sama diajak untuk menyimpulkan tentang topik yang dibahas dan menemukan apa manfaat belajar sejarah.

Hambatan yang Dialami dan Cara Mengatasinya
Kesulitan yang paling utama dalam pengembangan model pembelajaran, khususnya pelajaran Sejarah di kelas X dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), adalah jam tatap muka untuk belajar yang hanya 1 jam pelajaran atau sama dengan 45 menit dalam satu minggu. Akibatnya uji coba yang saya lakukan menjadi terputus-putus dalam proses pengamatannya. Untuk mengatasi keterbatasan waktu belajar ini dilakukan pengelompokkan atau membagi aktivitas siswa dengan pentahapan yang jelas. Melalui model pembelajaran ini saya bisa mendapatkan masukan dari siswa mengenai Kompetensi Dasar dan materi yang sedang dipelajari berdasarkan proses pemahaman mereka dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Pada prinsipnya pihak sekolah memberikan kebebasan pada guru untuk mempraktikkan berbagai kreativitas model pembelajaran yang akan lebih memacu kompetensi siswa. Sedangkan bagi siswa sendiri penerapan model pembelajaran yang demokratis ini ternyata lebih membangun semangat belajar dan pelajaran menjadi tidak membosankan.

Perubahan Kelas Pasca Uji Coba
Banyak orang selalu berasumsi bahwa belajar sejarah merupakan hal yang paling menjemukan karena selalu berorientasi pada masa lampau. Jadi seolah-olah sejarah tidak memberikan manfaat di dunia modern, dengan tantangan yang dihadapi di zaman sekarang ini. Banyak orang lupa bahwa perkembangan pengetahuan selalu dimulai dari masa lampau yang mengalami proses perkembangan hingga sekarang ini, banyak hal yang bisa digali dari masa lampau, sehingga bermanfaat sebagai pedoman si masa sekarang dan masa yang akan datang.
Namun wawasan pemikiran bahwa belajar sejarah membosankan dan tidak menarik ini berkembang pada sebagian besar anak didik. Keadaan seperti ini semakin lebih tidak menarik lagi apabila guru yang mengajar kurang dapat mengembangkan kreativitas model belajar Sejarah yang menarik dan menyenangkan. Pendapat bahwa belajar Sejarah itu membosankan dan tidak menarik pada akhirnya menjadi suatu kenyataan.
Dengan adanya lokakarya pendidikan berbasis demokrasi yang diselenggarakan Yayasan Madanika telah membuka wawasan saya dalam melakukan proses pembelajaran Sejarah. Melalui ingatan siswa yang didukung dengan berbagai kreativitas pembelajaran yang menarik, sejarah bukan lagi sesuatu yang bersifat hapalan semata. Proses yang lebih penting adalah membangun pemahaman melalui peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cara ini akan menjadi sesuatu hal yang baru dalam mempelajari Sejarah dan dapat membangun minat belajar. Sejarah menjadi lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Bahkan belajar Sejarah menjadi sesuatu yang ditunggu oleh siswa.
Kemampuan menyerap dan memahami materi akan terjadi lebih mudah karena dapat kita hubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang kita alami. Materi KD 1 di pelajaran Sejarah kelas X memungkinkan saya dapat melakukan pengembangan model pembelajaran sejarah secara demokratis, karena masih berkaitan dengan pengertian dan sumber-sumber. Kedudukan saya sebagai fasilitator sebatas memberikan pengarahan untuk dapat membangun kreativitas dan kemampuan siswa. Di antara siswa semakin berkembang nilai-nilai dan sikap positif, misalnya pada saat diskusi dilakukan mereka dapat menghargai pendapat orang lain, muncul sikap tolerasi, tanggung jawab, kerja sama, kreatif dan lain-lain.
Pada pertemuan pertama di tahun ajaran baru 2006/2007, dalam rangka menggali kemampuan awal siswa kelas X yang latar belakang sekolahnya berbeda-beda, saya membuka pertemuan dengan pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan Sejarah?” Pada waktu itu yang berani mencoba menjawab secara spontan hanya satu siswa, suasana kelas masih terasa kaku atau tegang. Maka di pertemuan berikutnya saya mulai menerapkan model pembelajaran yang berperspektif demokrasi dengan membangun suasana belajar yang menyenangkan.
Setiap mulai belajar Sejarah saya buka dengan yel-yel yang saya istilahkan dengan Salam Sejarah, bentuknya dengan sapaan: “ Hallloo….” Siswa kemudian menjawab: “Haaiii……,” sambil melambaikan tangan. Saya lanjutkan kembali dengan sapaan: “Apa kabar…???”, mereka menjawab: “Luar biasa…..!!!,” sambil mengacungkan ibu jari mereka. Saya lanjutkan dengan menanyakan: “Semua sehat...??,” lalu dijawab dengan meneriakkan “AAuuuuooooo….,” sambil berdiri dan menepuk dada (seperti dalam film Tarzan). Dari contoh kecil itu ternyata mampu memberikan perubahan pada suasana belajar, yang akhirnya menjadi tidak kaku dan lebih menyenangkan.
Hal kecil yang saya lakukan ini ternyata membangun keberanian pada diri siswa untuk semakin percaya diri. Siswa yang pada awalnya masih malu-malu, mulai berani bertanya. Saya mencoba mengubah kebiasaan bertanya dan menjawab yang selama ini dengan menunjuk atau mengangkat tangan dengan cara yang berbeda. Siswa yang akan bertanya dan menjawab diharuskan untuk berdiri dan mengatakan: “Saya anak Indonesia. Yess…!!!” Di pertemuan awal ketika suasana belajar sudah mulai “mencair” pertanyaan yang disampaikan oleh siswa menjadi cukup beragam. Misalnya: usulan untuk melakukan perkenalan lebih dulu, ada yang bertanya tentang status, ada yang bertanya tentang pengalaman mengajar, dan lain-lain.
Begitu juga pada saat siswa diminta pendapatnya tentang sekolah yang baru dan suasana belajar yang dihadapi sekarang ini, awalnya siswa yang berani menanggapi hanya 5 anak saja. Perubahan baru terlihat pada saat dilakukan presentasi hasil diskusi. Di situ telah muncul keberanian berpendapat yang cukup menggembirakan dari para siswa. Mereka cukup kritis dalam menanggapi suatu masalah dan dapat menemukan hal-hal baru berkaitan dengan masalah tersebut. Misalnya, pada satu kelompok hanya dapat menemukan persamaan data tentang peristiwa riwayat hidup mereka berupa kelahiran. Tetapi kelompok-kelompok lain dapat menemukan sesuatu yang baru, seperti waktu yang dibuktikan dengan tanggal kelahiran, bahkan tempat kejadiannya, termasuk pelakunya yaitu siswa yang dilahirkan.
Apa yang disampaikan oleh siswa tersebut pada intinya adalah contoh dari bagian syarat sumber tertulis yang ditemukan siswa ketika terjadi pengembangan proses belajar dengan model yang lebih demokratis. Siswa sendiri yang akhirnya menemukan konsep-konsep dalam sejarah, yang dilakukan melalui analisis informasi yang disampaikan oleh teman-teman mereka, mulai dari kelahiran sampai mereka belajar di sekolah.
Proses pembelajaran sejarah yang dilakukan secara demokratis tersebut ternyata membawa perubahan baru, meskipun itu kecil bentuknya. Salah satu di antaranya adalah pengaruh yang ditimbulkannya terhadap bidang studi yang lain. Ada beberapa guru yang juga telah memulai pelajaran dengan meneriakkan yel bersama-sama, ada juga yang melakukan pengembangan model pembelajaran untuk membanguan suasana yang lebih menyenangkan, sehingga dapat menimbulkan semangat dan minat belajar menjadi lebih baik.
Aktivitas belajar siswa, baik secara individu maupun kelompok, pada umumnya berlangsung baik. Semua dilakukan siswa dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab. Hal itu terbukti pada saat pembagian tugas yang dilakukan di tiap-tiap kelompok. Siswa yang kebetulan mendapat tugas membuat ilustrasi dari tampilan hasil kerja kelompok terbukti cukup kreatif dalam mengerjakan tugasnya. Perubahan positif pun terlihat dari prestasi siswa yang meningkat, yang ditunjukkan dari hasil pre-test masing-masing siswa. Seluruh siswa mengalami ketuntasan belajar sesuai dengan Standar Ketuntasan Belajar Minimal.
Dengan metode pembelajaran yang berbasis demokrasi, belajar Sejarah menjadi lebih menarik dan menyenangkan, sehingga Sejarah akhirnya dapat diminati oleh siswa.

0 komentar on "MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI MELALUI PELAJARAN SEJARAH"

Posting Komentar

 

kampung anak Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez