Pengikut

Sabtu, 21 Maret 2009

PENERAPAN BERBAGAI MODEL PERMAINAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA UNTUK MEMBANGUN SUASANA BELAJAR YANG MENYENANGKAN


Demokrasi diruang kelas

Oleh : Koleni, S.Pd

tentang penulis
Koleni, S.Pd. Lahir di Kapur Kabupaten Landak, 10 Desember 1983. Menamatkan pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Tanjungpura Pontianak tahun 2005. Di tahun yang sama, pemeluk agama Katolik yang selalu akrab dengan siswanya ini mengajar di SMA Santo Paulus Nyarumkop dan SMP Aloysius Gonzaga Nyarumkop hingga sekarang. Selain mengajar Bahasa Indonesia, yang bersangkutan juga mengampu mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).


Pengantar
Pengalaman mengajar Bahasa Indonesia yang akan saya paparkan di sini berlangsung di kelas X. Di sekolah kami, siswa putra dan putri yang duduk di kelas X dipisahkan ke dalam dua kelas yang berbeda. Berdasarkan pengalaman saya selama mengajar, kelas X yang hanya terdiri dari pelajar putra (kelas putra) cenderung lebih aktif jika dibandingkan kelas putri, suasana kelasnya lebih hidup, mereka pun memiliki keberanian lebih tinggi dalam berpendapat dan berbicara. Sebaliknya kelas putri cenderung lebih pasif, lambat hangatnya, dan kurang responsif. Dari segi kemampuan akademis, siswa kelas putra lebih beragam, meskipun rata-rata mereka memiliki kemampuan daya tangkap yang lebih baik dibandingkan siswa putri. Sedangkan kelas putri dapat dikatakan mempunyai kemampuan akademik yang relatif sama, yaitu dalam kisaran sedang.
Pada dasarnya berbagai model permainan yang akan saya ceritakan nanti berkaitan dengan upaya untuk menyegarkan suasana belajar, menumbuhkan keaktifan dan kerja sama di antara siswa, serta meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran.

Mengemas dan Melakukan Review terhadap Materi dengan Permainan
Seperti yang saya paparkan sebelumnya, kelas putri cenderung lebih pasif dibandingkan dengan kelas putra. Di kelas putri saya agak sulit membangun suasana kelas agar menjadi lebih nyaman dan kondusif untuk berlangsungnya proses pembelajaran. Apalagi jika pelajaran Bahasa Indonesia jatuh di jam terakhir menjelang pulang sekolah. Pada awalnya kondisi ini cukup menjadi hambatan besar bagi saya.
Untuk menyikapi hal ini, biasanya pelajaran saya awali dengan nyanyian. Bukan mereka yang menyanyi tetapi saya yang berinisiatif untuk mulai bernyanyi. Sengaja saya memilih dan menyanyikan lagu yang lucu-lucu, sehingga mengundang tawa mereka. Misalnya lagu “SMS” atau “Jablay” yang saya nyanyikan dengan memberikan improvisiasi yang “aneh-aneh”. Kelas akan menjadi riuh, sehingga suasana kelas menjadi lebih hangat. Sesudah itu barulah pelajaran bisa dimulai.
Melakukan pembelajaran dengan mengemas materi dalam bentuk lagu-lagu, khusus saya lakukan di kelas putri. Pada waktu itu materi yang ingin saya sampaikan adalah menyusun kamus kecil (glosarium) dalam bidang tertentu. Di kelas putri jumlah keseluruhan siswanya adalah 18 orang. Mereka saya minta untuk membentuk 3 kelompok, sehingga masing-masing kelompok berjumlah 6 orang. Pada satu pertemuan saya bersama-sama dengan siswa mencoba merumuskan hal-hal penting yang harus diperhatikan ketika membuat/menyusun kamus kecil. Di antara sekian banyak isi rumusan tersebut tentunya ada yang bersifat teoritis dan menuntut kemampuan siswa untuk menghafalkannya.
Strategi pembelajaran yang saya pilih agar mereka dapat menghapalkan materi yang bersifat teori, misalnya berkaitan dengan langkah/prosedur kerja, adalah dengan meminta mereka menuangkan dan mengemas materi tersebut dalam sebuah lagu. Pada suatu pertemuan pembelajaran, diluangkan waktu dimana siswa didorong untuk mencoba memasukkan materi itu dalam lirik-lirik lagu. Pada umumnya mereka akan memasukkan materi itu ke dalam lagu-lagu dangdut yang sedang ngetop saat itu. Syair lagu yang asli mereka ganti sesuai dengan materi yang sedang dibahas. Kegiatan dilanjutkan dengan latihan menyanyikan lagu itu sesuai dengan kelompok masing-masing.
Di pertemuan berikutnya, masing-masing kelompok ini saya persilakan maju satu persatu untuk menyanyikan lagu mereka. Unjuk kemampuan/ demonstrasi ini tidak saya beri nilai kognitif secara khusus, karena tujuan saya adalah untuk menguatkan penguasaan mereka terhadap materi ini. Di sisi lain, suasana kelas akan menjadi lebih semarak dengan munculnya beragam nyanyian dan gaya dari para peserta belajar.

Saya juga sering melakukan proses penyegaran terhadap materi-materi yang sudah dibahas dengan berbagai macam bentuk permainan. Seperti yang saya lakukan setelah siswa di kelas X menuntaskan 3 (tiga) Kompetensi Dasar. Sebagian siswa mempunyai kebiasaan untuk malas mengulang atau mempelajari kembali kompetensi yang telah dituntaskannya. Padahal kemampuan mereka akan diuji lagi melalui ulangan blok di akhir semester dan Ujian Nasional di tahun terakhir masa SMA. Supaya proses review terhadap materi-materi “usang” ini tidak menegangkan siswa, saya mengemasnya dalam sebuah permainan balon.
Siswa dalam satu kelas yang sama didorong untuk membentuk beberapa kelompok yang terdiri dari 5 – 6 orang. Saya menyiapkan beberapa buah balon (sesuai dengan kelompok yang terbentuk). Di dalam setiap balon itu saya masukkan tugas yang harus mereka lakukan dan sanksi yang harus diterima jika mereka gagal melaksanakan tugas. Balon-balon itu kemudian dilemparkan ke atas, masing-masing kelompok harus menangkap sebuah balon. Setelah memecahkan balon yang didapatkannya, setiap kelompok harus menjalankan instruksi yang ada didalamnya. Instruksi yang saya buat adalah menjelaskan kembali materi-materi yang pernah dibahas, di hadapan teman-teman yang lain. Setelah materi dijelaskan oleh satu kelompok yang mendapatkan tugas, siswa lain diperbolehkan untuk bertanya, dan pertanyaan itu harus dijawab. Jika kelompok yang menjelaskan tidak mampu menyampaikan materinya dengan baik, mereka dijatuhi sanksi untuk menjelaskannya di pertemuan berikutnya.
Permainan dengan balon dapat dimodifikasi dengan menyediakan balon sebanyak jumlah siswa. Semua balon diisi kertas yang berisi tugas yang berbeda-beda. Kemudian balon dilemparkan ke atas dan masing-masing siswa mencari dan menangkap salah satu balon yang ada. Apabila semuanya sudah mendapatkan balon masing-masing, balon itu kemudian dipecahkan. Dengan demikian siswa bisa membaca sendiri tugasnya dan kemudian melaksanakan tugas itu. Jika ada siswa yang tidak berhasil melaksanakan tugasnya, maka siswa tersebut akan diberi hukuman. Hukuman yang diberikan tentunya berkaitan dengan materi. Biasanya saya meminta siswa yang bersangkutan menjelaskan materi di depan kelas dan menjawab pertanyaan dari teman-temannya. Jika siswa yang tidak berhasil melaksanakan tugas lebih dari satu orang, maka siswa-siswa tersebut akan membentuk satu kelompok. Hukuman seperti ini menurut saya, menuntut siswa untuk selalu siap dengan materi dan akan terus dipacu untuk belajar.
Satu model permainan yang lain saya terapkan untuk menyegarkan kembali ingatan dan pengetahuan siswa dalam menggunakan bahasa berdasar tata bahasa dan tanda baca yang benar dalam aturan penulisan bahasa Indonesia. Pada kesempatan sebelum permainan ini dilakukan, saya menugaskan siswa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi ini. Misalnya mereka menulis sebuah kalimat, lalu menanyakan apakah kalimat tersebut sudah ditulis dengan kaidah bahasa yang tepat atau belum. Saya kemudian bertugas untuk menghimpun soal-soal yang dibuat oleh siswa tersebut.
Pada saat permainan, saya membawa kumpulan soal itu ke tengah lapangan. Sementara seluruh siswa berkumpul di lapangan dan membentuk sebuah lingkaran besar. Mereka saya minta untuk menyanyikan lagu yang bertempo cepat (lincah iramanya). Biasanya yang kami nyanyikan adalah mars sekolah. Sambil mereka bernyanyi, mereka harus memberikan bolpoin yang ada di tangan mereka kepada teman di sebelahnya. Proses memindahkan bolpoin itu tidak boleh berhenti sebelum ada aba-aba “STOP” dari saya. Pada saat saya mengucapkan “STOP”, seluruh siswa menghentikan nyanyiannya.
Siswa yang memegang bolpoin terakhir kali harus menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Jika mereka dapat menjawab, permainan dilanjutkan kembali dan prosesnya sama seperti semula. Namun apabila terdapat siswa yang tidak bisa menjawab, ia diperbolehkan menunjuk teman lain untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kesempatan ini hanya berlaku satu kali saja. Jika siswa kedua tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilemparkan, maka jawaban akan disimpan dan permainannya tetap dilanjutkan. Menjelang saat tatap muka berakhir, soal-soal yang tidak terjawab tadi akan dibahas satu persatu. Siswa sendiri yang akan mencoba untuk membahasnya. Siswa yang belum mendapatkan kesempatan, bisa ikut serta dalam menjawab pertanyaan yang belum terselesaikan di permainan sebelumnya. Dalam pertemuan berikut, saya melanjutkan putaran kedua permainan ini dengan proses yang kurang lebih sama, sehingga dapat dikatakan model ini saya terapkan dalam 4 jam pelajaran (dua kali tatap muka).

Hambatan yang Ditemui dalam Penerapan Model Pembelajaran Ini
Problem pertama yang saya temui adalah berkaitan dengan pembagian/pembentukan kelompok yang dilakukan sendiri oleh siswa. Ada kecenderungan siswa yang aktif dan memiliki kemampuan akademis yang baik, akan bergabung dengan kawan-kawan yang relatif sama dengan mereka. Begitu juga sebaliknya, yang pasif dan memiliki kemampuan akademis yang kurang baik akan bergabung dalam satu kelompok yang sama. Sebagai guru saya tidak akan melakukan intervensi dengan merombak kelompok yang telah terbentuk, tetapi saya memilih untuk melakukan bimbingan secara khusus terhadap kelompok-kelompok yang pasif ini. Solusi lain yang saya tempuh adalah dengan melakukan variasi dalam pembentukan kelompok, tidak hanya dilakukan secara bebas, tetapi kadang-kadang juga ditentukan dengan hitungan. Jika ingin membentuk 5 kelompok, siswa diminta untuk menyebutkan angka 1–5 secara bergantian sampai seluruh siswa di kelas tersebut mendapatkan giliran menyebutkan salah satu angka tersebut. Siswa yang menyebutkan angka 1 berkumpul/berkelompok dengan siswa lain yang menyebut angka 1, siswa yang menyebutkan angka 2 berkumpul/berkelompok dengan siswa lain yang menyebut angka 2, dan seterusnya. Dengan demikian siswa tidak bisa memilih dengan bebas anggota kelompoknya, tetapi guru juga tidak secara langsung membentuk kelompok sesuai dengan keinginannya.
Problem yang kedua, berkenaan dengan kelambanan penguasaan dan pemahaman materi. Untuk mendorong percepatan penguasaan dan pemahaman siswa di kelas putri, saya meminta siswa membentuk kelompok-kelompok belajar di asrama. Bagi siswa yang tinggal di luar asrama biasanya saya minta untuk bergabung dalam satu kelompok tersendiri, meskipun dalam praktiknya mereka pun bisa berkunjung ke asrama dan belajar bersama dengan teman-teman mereka yang tinggal di situ. Pekerjaan rumah yang paling sering saya berikan adalah membuat pertanyaan untuk materi yang akan dibahas di pertemuan berikutnya. Secara tidak langsung saya mengajak mereka untuk memperoleh gambaran tentang materi yang akan dibahas dan mempunyai pengetahuan awal sebelum mengikuti pembelajaran. Supaya kelompok-kelompok belajar ini dapat menjalankan kewajibannya dengan sungguh-sungguh, saya berkoordinasi dengan para pembina asrama.



Manfaat Positif yang Dapat Dipetik dari Proses Pembelajaran yang Partisipatif
Dengan beberapa model permainan yang telah dilakukan bersama dengan siswa, saya melihat adanya perkembangan yang positif di kelas putri. Paling tidak mereka semakin senang dan termotivasi dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan belajar dan mengajar berlangsung dalam suasana yang hangat. Keberanian mereka untuk mengekspresikan diri dan menampilkan sebuah karya kreatif pun terlihat semakin baik. Kondisi ini sangat positif karena mereka kian bertambah semangat dalam mempelajari materi yang sedang dipelajari.
Proses belajar yang demokratis pun dapat ditemukan ketika siswa diberi kepercayaan untuk membentuk kelompok sendiri, menyusun soal dan menemukan jawabannya secara mandiri, menyampaikan pengetahuannya kepada teman-temannya, dan membangun proses dialog antarsiswa untuk membahas materi pelajaran. Saya sebagai guru juga mengurangi peran saya untuk menentukan siapa yang harus menjawab pertanyaan, atau apa yang seharusnya menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam permainan tersebut.
Model-model belajar yang telah saya paparkan di atas, ternyata sangat membantu siswa untuk meningkatkan pemahamannya terhadap materi ajar dan cukup signifikan pengaruhnya terhadap pencapaian nilai kognitif, afektif dan psikomotor. Selama ini pada umumnya siswa mengalami kesulitan untuk mengingat materi-materi yang menunjukkan sebuah prosedur baku, definisi, maupun aturan-aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun dengan mengemas materi dalam bentuk lagu dan permainan, tampaknya kendala yang ditemui siswa semakin berkurang. Secara tidak langsung mereka akan “dipaksa” untuk mengingat materi-materi ajar dengan cara yang menyenangkan. Apalagi jika dilakukan proses pengulangan/evaluasi materi yang telah dipelajari secara berkala. Para siswa otomatis akan selalu terdorong untuk menyegarkan kembali ingatannya dan berkesempatan untuk menambah pengetahuan yang dimilikinya selama ini dengan informasi terbaru. Sanksi yang dikenakan kepada siswa yang gagal menjawab pertanyaan ataupun mempresentasikan topik bahasan kelompok yang dipilihnya, berupa tugas untuk mempelajari kembali materi-materi tersebut dan menjelaskannya di depan kelas, ternyata cukup efektif untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi-materi ajar yang penting.

0 komentar on "PENERAPAN BERBAGAI MODEL PERMAINAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA UNTUK MEMBANGUN SUASANA BELAJAR YANG MENYENANGKAN"

Posting Komentar

 

kampung anak Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez