Pengikut

Rabu, 18 Maret 2009

Pembelajaran Konstruktivisme



Kita belajar dari pengalaman, fenomena (objek, acara, aktiviti, proses), penterjemahan pengalaman berdasarkan pengalaman sedia ada, memberi ulasan mengenainya dan mengimbas kembali pengalaman dan ulasan. Bruner (1990) mengatakan proses ini sebagai proses memberi makna. Ahli konstruktivis percaya bahawa pengetahuan dibina dan bukan disampaikan. Pembinaan ilmu ini adalah sesuatu yang semulajadi. Apabila manusia bertemu sesuatu yang tidak diketahuinya tetapi perlu memahaminya, fitrah mereka akan mengaitkannya dengan pengalaman atau pengetahuan sedia ada untuk menghasilkan sesuatu yang bermakna (Jonassen 1996; Jones et al 1993). Secara realiti, pengetahuan ialah produk minda di mana makna adalah refleksi hasil persepsi dan kefahaman dari pengalaman.
Pembelajaran konstruktivisme menyokong strategi pembelajaran aktif. Scott et al. (1987) mengatakan bahawa golongan konstruktivisme melihat pembelajaran dari perspektif pelajar yang sentiasa aktif dan datang ke kelas dengan memegang satu idea tentang fenomena tertentu yang mereka gunakan setiap hari untuk membuat makna ke atas sesuatu yang tidak difahaminya.Dengan itu, pembelajaran bukan sahaja melibatkan idea-idea baru tetapi juga melibatkan pengubahsuaian atau penyingkiran idea-idea sedia ada di dalam pemikiran pelajar. Proses ini membolehkan pelajar sentiasa berfikir secara aktif dan membina makna tentang pengalaman harian. Secara ringkas, fakta-fakta penting tentang teori-teori pembelajaran yang dipegang oleh ahli-ahli konstruktivisme disenaraikan di bawah.
i. Apa yang sedia ada dalam pemikiran pelajar adalah penting.
ii. Setiap individu membina makna daripada pengalaman dan interaksi sosial dan fizikalnya.
iii. Pembinaan makna adalah satu proses aktif yang berterusan melibatkan penjanaan, pemeriksaan dan penstrukturan semula idea dan hipotesis.
iv. Pembelajaran melibatkan pertukaran konsep mengenai kepercayaan seseorang individu mengenai sesuatu.
v. Pembinaan makna oleh setiap pelajar tidak sentiasa bermakna konsep yang dibinanya akan diterima. Ianya mungkin diterima pakai atau ditolak.
vi. Proses pembelajaran tidak pasif. Pelajar bertanggungjawab ke atas pembelajarannya.
vii. Pembinaan makna oleh pelajar-pelajar mungkin sama dengan pelajar lain memandangkan ramai pelajar mengalami pengalaman yang sama di
dalam kehidupan mereka.
Teori konstruktivisme merupakan suatu teori yang digunakan sebagai panduan dalam pendidikan. Dalam pendidikan konstruktivis, terdapat beberapa prinsip asas yaitu pengetahuan dibina oleh para siswa, setiap siswa memiliki ide dan pengetahuan, proses pembinaan pengetahuan melibatkan aspek sosial, dan guru merupakan fasilitator dalam pembinaan pengetahuan siswa.
Penggunaan teori konstruktivisme dalam pengajaran melatih daya pemikiran para siswa dengan memastikan mereka tidak bergantung sepenuhnya pada guru untuk menstranfer ilmu pengetahuan. Selain itu, penggunaan teori tersebut juga melahirkan sikap yang positif dalam kalangan siswa untuk menimba ilmu. Di samping itu, para siswa akan menerima pendidikan yang lebih menyeluruh di mana mereka dilatih dari segi praktek, sosial dan juga peribadi dan sikap mereka secara berkelompok. Akhirnya, pendidikan konstruktivis mengusung budaya pembelajaran seumur hidup “lifelong-learning” meneruskan penerapan semangat inquiri dan ingin tahu dalam sanubari para siswa.
Penggunaan teori konstruktivisme dalam pengajaran menghadapi beberapa masalah yang mungkin menganggu proses pengajaran dan pembelajaran. Akan tetapi, masalah ini mampu diatasi dengan adanya kerjasama dan sikap yang positif oleh semua pihak. Dengan itu, dapatlah kesan-kesan positif penggunaan teori tersebut dalam pendidikan dapat dinikmati.

1.1 Definisi Teori Konstruktivisme
Dalam bidang pendidikan, berbagai teori pernah digunakan sebagai panduan untuk menjadikan proses pendidikan lebih efektif dan efisien. Teori-teori pendidikan demikian adalah berasaskan pengetahuan psikologi tentang cara pembelajaran manusia, yakni cara manusia memahami, menganalisis dan menyimpan maklumat. Salah satu teori tersebut adalah Teori Konstruktivisme.
Teori Konstruktivisme merupakan teori tentang cara pembelajaran manusia yang diperkenalkan oleh ahli psikologi Jean Piaget pada abad ke-20. Teori ini menyatakan bahwa manusia sepatutnya membina kefahaman dan pengetahuan tentang dunia menerusi pengalaman dan penilaian pengalaman tersebut .
Apabila seseorang mengalami sesuatu fenomena baru, seseorang itu perlu menilai fenomena itu berdasarkan ide yang tersedia serta pengalaman. Penilaian sedemikian berupaya mengubah persepsi dan pemahaman kita ataupun berupaya mengabaikan perintah baru itu sebagai sesuatu yang tidak relevan.
Dalam kata lain, seseorang individu itulah yang menjadi pembina pengetahuan yang sedang ditimba. Dalam proses pembinaan pengetahuan tersebut, seseorang individu perlu bertanya, menerka dan menilai apa-apa saja yang kita ketahui.
1.2 Prinsip-prinsip Dalam Teori Konstruktivisme
Terdapat beberapa prinsip asas dalam Teori Konstruktivisme. Berikut adalah penerangan secara ringkas tentang setiap prinsip tersebut. Setiap prinsip yang berhubungan akan disajikan bagaiaman aplikasinya dalam proses pendidikan dengan selanjutnya dalam pembelajaran para siswa nanti.
Pengetahuan dibina oleh siswa – siswa bukan merupakan ‘kertas kosong’ untuk diisi atau di tulisi, tetapi merupakan individu aktif yang perlu berusaha mencari pengertian kepada perkara-perkara yang ditemuinya. Para siswa mestilah ‘construct’ yaitu membangun pengetahuan. Dengan ini, para siswa perlu menggunakan daya pemikiran mereka sendiri, dan bukannya bergantung semata-mata pada perintah yang dimiliki oleh guru. Oleh itu, guru-guru tidak sekadar memberi perintah dan ilmu yang terkandung dalam pelajaran begitu saja, tetapi membangun berbagai jenis aktivitas yang dilakukan oleh siswa di mana setiap aktivitas merupakan suatu proses ke arah membangun pengetahuan tertentu.
Setiap siswa memiliki ide dan pengetahuan – siswa perlu membangun pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang tersedia serta menggunakan ide mereka sendiri. Sudah semestinya, setiap siswa mempunyai pandangan dan ide sendiri tentang subjek yang dipelajari. Ide-ide ini tidak harus ditolak begitu saja, malah perlu perkuat oleh guru dengan adanya bimbingan guru. Pengetahuan dasar yang sudah ada perlu diaplikasikan oleh para pelajar untuk mewujudkan keterkaitant antara subjek-subjek tertentu, seterusnya membentuk suatu pengetahuan dan pemahaman yang baru terhadap subjek tersebut.
Proses pembinaan pengetahuan melibatkan aspek sosial – para siswa perlu berinteraksi dan bertukar-tukar pendapat sesama sendiri dan juga dengan para pendidik tentang subjek yang sedang dipelajari, yaitu pembelajaran yang menitik beratkan pada pembelajaran berkelompok (Cooperatif Learning). Hal ini adalah dikarena para psikologi seperti Jean Piaget berpandangan bahwa pembelajaran merupakan proses yang dinamis dan sosial, yaitu ide-ide berbeda yang dipikirkan oleh individu-individu yang berlainan perlu dikumpulkan dan dibandingkan supaya dapat membangun pengetahuan yang mempunyai dasar yang kuat. Para siswa tidak diarahkan untuk belajar bersendirian sewaktu dalam kelas.
Guru merupakan fasilitator dalam proses membangun pengetahuan siswa – guru hanya membimbing para siswa, bukan memindahkan ilmu pengetahuan ke otak siswa. Guru bertanggungjawab untuk memberi para pelajar petunjuk dan garis panduan yang sesuai. Guru tidak memberi jawaban kepada persoalan-persoalan yang dikemukakan; malah, guru hanya berperanan untuk menanyakan masalah yang dapat merangsang pemikiran para siswa.
Prinsip-prinsip Teori Konstruktivisme akan diaplikasikan dalam pendidikan; dan selanjutnya, kesan-kesannya terhadap pembelajaran para siswa dan bagaimanakah kesan-kesan tersebut berlaku akan dianalisis dan dijelaskan.


1.3 Penggunaan Teori Konstruktivisme Pembelajaran Siswa
Dalam pendidikan konvensional, para siswa dilatih oleh guru untuk menjawab soal semata-mata berdasarkan fakta-fakta. Meskipun cara menjawab soal ini mampu memberikan jawaban yang betul serta tepat, cara ini tidak menitikberatkan pada daya pemikiran para siswa. Mereka hanya perlu mengingat fakta-fakta tertentu dan memberikannya sebagai jawaban tanpa benar-benar memahami mengapa jawaban yang diberi adalah sedemikian.
Daya ingat, bukannya daya pemikiran, menjadi dasar kepada kecemerlangan seseorang siswa. Lebih-lebih lagi, para siswa hanya akan menjalankan proses pembelajaran secara sendirian, bukannya berkelompok.
Sebaliknya, hal tersebut adalah amat berbeda dalam pendidikan yang berbentuk konstruktivis. Dalam pendidikan konstruktivis, guru-guru memancing para pelajarnya untuk mendapatkan jawaban soal secara lebih konstruktif, yaitu dengan mengaitkan dan merumuskan konsep-konsep yang diketahui. Cara ini lazimnya dikenali sebagai “problem-solving” di mana guru mengemukakan suatu situasi dan meminta siswa untuk menjelaskan situasi tersebut secara berkelompok. Apabila para pelajar menganalisis data yang tersedia yaitu data yang diberikan oleh guru ataupun data yang diperoleh oleh siswar itu sendiri, mereka berupaya untuk membuat justifikasi terhadap data tersebut, seterusnya melakukan suatu analisis untuk membuat suatu kesimpulan tentang masalah yang hendak diselesaikan. Kesimpulan yang dibina itulah merupakan jawaban bagi permasalahan yang dikemukakan oleh guru.
Kaedah pembelajaran secara berkelompo dalam kelas ini meningkatkan lagi kualitas pendidikan yang disampaikan. Menurut kajian yang dilakukan oleh Johnson and Johnson (1986), terdapatnya bukti kukuh bahwa pembelajaran secara berkumpulan ini mencapai tahap pemikiran yang lebih tinggi dan para pelajar tersebut boleh mengingat apa yang dipelajari untuk jangka waktu yang lebih lama berbanding dengan pelajar yang belajar secara sendirian.

Dalam konteks kali ini, teori konstruktivisme mampu meninggalkan kesan yang signifikan secara khasnya dalam mata pelajaran berunsurkan Sains seperti Biologi, Fisika dan Kimia. Hal ini karenkan mata pelajaran tersebut menekankan cara membuat kesimpulan terhadap fenomena alam secara eksperimen. Dalam pelaksanaan eksperimen, guru-guru akan menyatakan suatu masalah manakala para siswa akan berfikir secara berkelompok untuk merangkai suatu eksperimen untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kelompok siswa membuat pengamatan sendiri dan seterusnya membuat penilaian terhadap objek yang diamati dan memberi penjelasan terhadap pengamat lain.
Sesungguhnya, proses ini hanya dapat dilakukan ketika kelompko belajar tersebut melakukan diskusi, memiliki rasa tanggungjawab dalam proses pembelajaran, dan hasilnya, siswa-siswa yang berpikiran kritis akan dilahirkan (Totten, Sills, Digby & Russ, 1991 [5])Akhirnya, dalam proses ini, para siswa akan membangun pengetahuan tentang sesuatu fenomena alam itu dengan usaha sendiri dan bimbingan oleh guru.
Tidak dapat dinafikan, jawaban yang banugn secara konstruktivis ini tidak selamanya benar pada setiap waktu. Akan tetapi, proses untuk membangun jawaban tersebut memberikan kesempatan para siswa untuk menggunakan pemikiran mereka, sekaligus melahirkan siswa yang lebih kritis, kreatif dan rasional. Jawaban yang diperoleh itu betul atau salah tidak perlu dikhawatrikan, kerana pada akhir sesi pengajaran dan pembelajaran (P & P), guru masih dapat menjelaskan jawaban yang sebenar.
Malah, dalam Journal of Technology Education oleh Anuradha A. Gokhale , siswa yang telah melibatkan diri dalam suatu kajian terhadap pembelajaran secara berkelompok telah memberi respon bahwa pembelajaran dengan cara seperti ini membantu pemahaman mereka, merangsangkan pemikiran mereka dan memberi persepsi baru kepada mereka.
Oleh demikian, melalui teori konstruktivisme, siswa-siswa bukan saja mendapat jawaban yang betul, dalam proses tersebut, mereka melatih diri sendiri untuk berpikir secara invididu dalam usaha menjelaskan sesuatu fenomena. Hal ini jauh lebih berkesan dibanding dengan kelas konvensional di mana siswa hanya mengetahui jawaban betul tanpa menggunakan daya pemikiran otak mereka.
Selain itu, pendidikan konstruktivis melatih daya pemikiran siswa apabila guru-guru mengemukakan permasalahan terbuka (“open-ended”). Contohnya soal terbuka adalah seperti “Apa pendapat anda terhadap situasi ini?”, “Terangkan sebab-sebab anda membuat pilihan tersebut.”, “Bagaimanakah anda menjelaskan masalah ini?”, dan sebagainya. Haruslah disadari bahwa apabila siswa-siswa arahkan untuk memberi respons terbuka, mereka bukan saja bisa memberi pandangan sendiri terhadap sesuatu subjek, malah yang lebih penting lagi, mereka akan didorong untuk memikirkan suatu penjelasan yang logis bagi menyokong pandangan mereka terhadap subjek tersebut. Dalam konteks ini, guru-guru menerima berbagai bentuk jawaban siswa, asalkan jawaban tersebut mempunyai dasar yang logis, matang dan bermakna.
Jelasnya, dari segi daya pemikiran para siswa, penggunaan teori konstruktivisme dapat menghasilkan proses pembelajaran yang lebih saintifik, matang dan menyeluruh bagi para siswa.
Telah dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang jelas antara sikap siswa dalam kelas serta ketertarikan pembelajaran siswa tersebut. keterlibatan serta usaha yang disumbangkan oleh para siswa dalam kegiatan dalam kelas berhubungan dengan tahap motivasi para pelajar (Pintrich & De Groot, 1990 ; Pintrich & Schrauben, 1992).

Dalam konteks ini, penggunaan teori konstruktivisme dalam proses P & P juga dapat menanam sikap yang lebih positif bagi para siswa di kelas. Hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu tahap keterlibatan siswa didalam kelas, tahap bimbingan yang diberikan oleh guru dan juga perbikan dalam cara pembelajaran.
Pada pengajaran konvensional, para siswa lazimnya merupakan golongan yang pasif, di mana guru-guru akan mengajar siswa hanya terfokus kepada mendengar dan menerima segala materi yang disampaikan oleh guru. Dalam keadaan demikian, kemungkinan besar para siswa merasakan mereka tidak menajdi bagian dari proses pembelajaran. Tidak heran para siswa berpendapat bahwa suasana kelas membosankan. Kesannya, keterlibatan siswayang minim ini mengakibatkan siswa hilang minat dan tidak termotivasi untuk belajar.
Menurut Garner (1990) [9], proses memperoleh pengetahuan dipengaruhi oleh faktor kontekstual kelas – contohnya, interaksi yang mampu menyediakan suasana yang menjurus kepada pemahaman para siswa. Pembelajaran yang optimal dapat dicapai dengan adanya komunikasi antara guru dengan siswa serta dalam kalangan siswa itu sendiri.
Haruslah disadari juga bahwa aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam kelas konstruktivis sentiasa berbentuk ringkas supaya para siswa dapat memahami konsep-konsep utama, sebelum mempelajarinya secara lanjut. Ini dapat memudahkan proses pembelajaran, sekaligus memberi motivasi dan keyakinan kepada para siswa. Motivasi demikian pernah digambarkan mempunyai dua komponen: pertama yang berkait dengan nilai sesuatu aktivitas dan satu lagi berkait dengan keyakinan siswa terhadap kemampuan untuk melakukan sesuatu (Pintrich, Marx & Boyle, 1993 [10]).
1.4 Pembelajaran Seumur Hidup (“lifelong-learning”)
Seringkali kita mendengari frase Bahasa Inggris “lifelong-learning” yang bermakna pembelajaran seumur hidup. Sebelum kita mengkaji bagaimana teori konstruktivisme menggalakkan “lifelong-learning” dalam kalangan para pelajar, adalah penting kita memahami apa sebenarnya “lifelong-learning” ataupun pembelajaran seumur hidup.
Menurut Wikipedia, pembelajaran seumur hidup adalah konsep bahwa “tiada waktu lewat untuk pembelajaran”, sejenis falsafah yang seharusnya sentiasa terbuka kepada ide baru, keputusan baru, kemahiran dan kelakuan baru [14].
Seharusnya, untuk memberi pendidikan yang mencetuskan pembelajaran seumur hidup, pendidikan tersebut perlu terbuka kepada ide-ide para siswa di samping meningkatkan semangat ingin tahu ataupun inquiri dalam kalangan pelajar. Sekiranya, haluan pendidikan yang demikian amatlah sesuai dengan adanya penggunaan teori konstruktivisme.
Seperti yang telah dinyatakan tadi, pendidikan konstruktivis mengusung cara memperoleh jawaban secara konstruktif yaitu kaedah “problem-solving” dengan melihat keterkaitan antara konsep-konsep yang telah diketahui. Sesungguhnya, latihan-latihan “problem-solving” bisa melatih para siswa untuk sentiasa mempunyai semangat ingin tahu tentang apa yang ada disekitar mereka.
Menurut Investigative Case Based Learning dalam halaman web Bioquest.Org [15], penyelesaian masalah yang dikemukakan dan solusi penyelesaian itu oleh para siswa membolehkan para siswa melatih diri dalam menggunakan dan menilai kaedah yang saintifik dalam “problem-solving”. Dalam proses ini, para siswa mempelajari sumber yang tersedia ada untuk membangun pengetahuan. Tidak dapat dipugkiri bahwa kemahiran dan sikap yang inisiatif ini adalah kunci utama dalam melahirkan para siswa yang mengamalkan pembelajaran seumur hidup.
Budaya demikian akan dibawa dalam diri para siswa meskipun telah keluar dari sekolah – hasilnya, mereka bisa menerapkan pembelajaran seumur hidup ataupun “lifelong-learning” dengan sentiasa mengemukakan persoalan baru tentang dunia ini, diikuti dengan ide-ide baru tentang jalan penyelesaian untuk persoalan tersebut. Budaya inilah yang dinamakan “lifelong-learning” dan mampu dicapai dengan adanya aplikasi teori konstruktivisme dalam pengajaran.

0 komentar on "Pembelajaran Konstruktivisme"

Posting Komentar

 

kampung anak Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez