Pengikut

Sabtu, 21 Maret 2009

PROSES BELAJAR YANG MEMBERIKAN RUANG BAGI KEBEBASAN BEREKSPRESI


Demokrasi diruang kelas

Oleh : Hj. Sri Utami, S.Pd

tentang penulis
Hj. Sri Utami, S.Pd. Mengajar Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di SMA Negeri 1 Pemangkat, tempat guru yang selalu tampil ceria ini mengabdikan diri sejak tahun 1987. Pernah menempuh masa kuliah beberapa tahun di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Tanjungpura Pontianak, sebelum akhirnya tamat dari Universitas Terbuka tahun 2006. Dalam perjalanan karirnya, guru berstatus Pegawai Negeri Sipil yang lahir di Pontianak, 17 November 1963 ini pernah mengajar di SMP Purnama Pemangkat dan SMA PGRI Pemangkat.

Pengantar
Setiap guru tentu mempunyai pengalaman mengajar yang berbeda-beda. Mungkin saja pengalaman saya dalam menerapkan model-model pembelajaran yang saya ungkapkan lewat tulisan ini tidak terlalu luar biasa. Namun saya yakin, banyak sekali hal yang bersifat positif yang dapat saya temukan di sepanjang pengalaman saya bergelut di dunia pendidikan dan berinteraksi langsung dengan para siswa. Pada prinsipnya, melalui kedua model pembelajaran yang akan saya ceritakan ini, saya mencoba untuk menerapkan proses belajar yang demokratis.
Dalam perkembangan pendidikan dewasa ini model-model pembelajaran yang demikian itu adalah model-model pembelajaran yang dianggap praktis, akomodatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Efektivitas pembelajaran dapat tercapai melalui sebuah perencanaan belajar yang baik, perencanaan suasana kelas yang kondusif dan sikap profesional guru dalam melaksanakan pembelajaran. Di sini guru dituntut untuk membuat rencana pembelajaran, mengembangkannya sesuai dengan kreativitas yang dimiliki, dan mampu mengadaptasikan rencana pembelajaran tersebut sesuai dengan kondisi siswa yang dihadapi. Dengan demikian akan terwujud suasana belajar yang interaktif antara guru dan siswa, di mana para siswa mendapat peluang seluas-luasnya untuk selalu aktif mengekspresikan dirinya di sepanjang proses pembelajaran. Berikut ini adalah upaya yang saya lakukan untuk mengembangkan model pembelajaran dalam kemampuan menulis narasi dan puisi.

Menggali Beragam Informasi dari Siswa di Awal Pembelajaran Penulisan Narasi
Mata pelajaran Bahasa Indonesia menuntut dikuasainya empat aspek kemampuan yang harus dimiliki siswa, yaitu: “membaca, menulis, berbicara dan mendengar/meyimak.” Semua aspek ini saling berkaitan. Contohnya, pada salah satu Kompetensi Dasar, siswa diminta untuk mampu mengungkapkan informasi dalam berbagai bentuk paragraf naratif melalui sebuah tulisan (kemampuan menulis). Kompetensi Dasar ini dapat dipadukan dengan Kompetensi Dasar lain seperti menceritakan berbagai pengalaman dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat (kemampuan berbicara).
Penerapan kedua Kompetensi Dasar dalam pelajaran Bahasa Indonesia ini saya lakukan secara bersamaan dalam sebuah rangkaian kegiatan pembelajaran. Kegiatan inti dimulai dengan mengucapkan salam dan menyapa siswa-siswi saya untuk mencairkan suasana. Suasana yang “cair” di kelas akan menciptakan kondisi belajar yang diharapkan, ialah kondisi yang rileks akan tetapi mengandung kesungguhan, baik dilihat dari sisi siswa-siswa maupun juga dari guru. Pada prinsipnya salam itu bukan hanya dari siswa saja kepada gurunya. Kemudian barulah dimulai apersepsi untuk mengingatkan kembali materi-materi sebelumnya yang memiliki relevansi dengan materi yang akan diterima sekarang. Atau, mengingatkan tentang apa yang akan dipelajari hari ini meliputi standar kompetensi, kompetensi dasar, maupun indikator-indikatornya. Kegiatan ini memakan waktu yang sangat singkat, cukup 5 – 10 menit saja. Proses yang saya lakukan ini selalu saya lakukan di setiap awal pertemuan dengan siswa.
Kegiatan inti, saya buka dengan melemparkan pertanyaan kepada para siswa. Pertanyaan-pertanyaan ini selain berkenaan dengan apa yang telah dipelajari siswa dalam pertemuan sebelumnya, juga pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat aktual yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Tentu saja semua itu masih dalam kerangka ketentuan Kompetensi Dasar yang harus dapat dicapai melalui pembelajaran itu. Siswa tentu akan mengemukakan jawaban dan cerita yang beragam, sesuai dengan pengalaman mereka ketika menyaksikan hal itu melalui media televisi atau membaca media cetak. Misalnya tentang gempa bumi, cerita kriminal, kecelakaan transportasi, gosip mengenai selebritis dan lain-lain. Bahkan di antaranya ada yang menceritakan cerita-cerita sinetron di televisi yang sedang populer di kalangan masyarakat.
Kemudian saya berikan kepada siswa berbagai kutipan tulisan naik yang berasal dari koran, majalah atau bahan-bahan cetak lain. Dari sekian banyak informasi tersebut, saya kemudian mengajak siswa untuk merumuskan ciri-ciri sebuah tulisan yang dikategorikan sebagai tulisan naratif, serta memilah-milah mana yang merupakan narasi fiksi dan non fiksi. Biasanya proses ini memakan waktu yang cukup panjang, karena saya harus mendengarkan pendapat para siswa, mencoba membuat rumusan atas pendapat-pendapat tersebut sehingga lebih mudah dicerna oleh teman-teman lain, memberikan waktu bagi siswa yang ingin memberi penjelasan atas jawaban/pendapatnya, sekaligus membuka ruang bagi semua peserta belajar untuk mengkoreksi jawaban/ pendapat yang dianggap belum sesuai.
Apabila sudah dicapai pemahaman bersama pada tahap berikutnya saya meminta siswa membuat sebuah tulisan atau wacana narasi non fiksi, dengan tema-tema yang sedang populer di masyarakat. Untuk menghangatkan suasana kelas dan memotivasi siswa, saya memberikan sebuah lagu yang kemudian dinyanyikan bersama-sama. Salah satu syair dalam lagu tersebut adalah: “Mari-mari hoi menulis narasi, jangan lupa ciri-cirinya...” dan seterusnya. Irama lagu tersebut menggunakan salah satu lagu hits dari Koes Plus. Saya juga membatasi supaya tulisan tidak terlalu panjang, karena yang lebih ditekankan dalam tulisan tersebut, yaitu unsur narasinya harus terlihat dengan jelas. Waktu yang saya berikan sekitar 15 – 20 menit, dari alokasi waktu pembelajaran yang berlangsung selama 2 jam pelajaran.
Dari hasil tulisan siswa-siswa tersebut, saya sudah bisa memberikan penilaian terhadap kemampuan kognitif setiap siswa. Apabila tulisan mereka sudah tepat sesuai dengan yang diminta, berarti paling tidak siswa sudah memahami ciri-ciri dan langkah-langkah menulis paragraf-paragraf naratif. Penilaian biasanya saya lengkapi dengan melihat kesesuaian tulisan dengan tema yang dipilih, serta kesesuaian kalimat-kalimat, ejaan dan tanda baca yang digunakan.
Tahap pembelajaran berikutnya adalah menceritakan isi tulisan naratif tersebut di hadapan teman-teman yang lain. Tahap ini bisa dilakukan di jam pertemuan yang sama, atau pada kesempatan tatap muka berikutnya. Pada prinsipnya yang akan dinilai dari penampilan siswa, lebih terfokus pada aspek psikomotor. Dalam mengungkapkan ceritanya siswa diharapkan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan tepat, serta menggunakan kata atau kalimat yang sesuai. Sama seperti pada saat memulai penulisan naratif, saya juga memotivasi dan menumbuhkan keberanian siswa dengan menyanyikan sebuah lagu, yang potongan liriknya seperti ini: “Maju ke depan bacakan hasilnya. Maju ke depan, dapatkan nilainya...” (irama lagu Maju Tak Gentar). Selanjutnya siswa saya minta untuk maju ke depan satu persatu untuk menceritakan isi tulisannya, sesuai alokasi waktu yang saya tentukan.
Di akhir pembelajaran saya akan mengajak siswa menyimpulkan hal-hal penting terkait dengan wacana narasi yang telah mereka pelajari. Selain ciri-ciri dan langkah penulisan, rumusan kesimpulan ini bisa dikembangkan dengan mendiskusikan bentuk-bentuk paragraf naratif dan pola pengembangannya.

Mengatasi Kesulitan Siswa dalam Pembelajaran Penulisan Puisi
Materi menulis puisi disampaikan kepada siswa, sesuai dengan Standar Kompetensi “mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi.” Kompetensi Dasarnya adalah “menulis puisi lama dan puisi baru dengan memperhatikan bait, irama dan rima (kemampuan menulis).” Seperti pengalaman dalam pembelajaran sebelumnya, materi ini saya integrasikan dengan Standar Kompetensi “memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi.” Kompetensi Dasarnya ialah “membacakan puisi dengan lafal, nada, tekanan, dan intonasi yang tepat (kemampuan membaca).”
Hal terpenting yang saya lakukan di awal pembelajaran menulis puisi adalah memberikan masukan kepada para siswa bagaimana cara praktis untuk menyusun kalimat-kalimat yang nantinya akan terangkaikan dalam bait-bait puisi. Misalnya, huruf vokal jumlahnya lima, yaitu: a, i, u, e, dan o. Saya memberi contoh menyusun kata-kata yang diawali dengan salah satu huruf vokal yang ada, misalnya u. Hasilnya adalah “Uang untuk Umi.” Sedangkan apabila menggunakan huruf konsonan (selain ke-5 huruf vokal), saya memberi contoh dengan menggunakan huruf b. Kalimatnya adalah “Bapak belum bangun.”
Demikianlah, pada akhirnya akan tergambar adanya asonansi (persamaan pada huruf vokal) dan aliterasi (persamaan pada huruf konsonan) dalam pembuatan sebuah puisi. Selanjutnya saya meminta mereka mencoba menyusun kata-kata, mulai dari menggunakan huruf vokal atau huruf konsonan yang sama, dan gabungan dari keduanya hingga membentuk kalimat-kalimat bermakna. Setelah semua siswa mencoba dan berlatih menyusun beberapa kalimat, saya kemudian menugaskan mereka untuk menulis puisi bertema bebas. Untuk memudahkan siswa, bentuk puisi dan panjang tulisan juga tidak saya tentukan.
Apabila semua siswa telah memiliki pengalaman dalam menulis puisi, saya meminta beberapa orang mereka untuk menyanyikan puisi tersebut dengan nada-nada lagu yang pernah mereka kenal. Hal ini saya lakukan sekedar untuk membuang kejenuhan, apalagi jika pelajaran Bahasa Indonesia diberikan pada jam-jam terakhir. Pada saat itu biasanya para siswa sudah lelah, jenuh dan mengantuk. Salah satu puisi yang pernah dibawakan dalam bentuk nyanyian akan saya tampilkan sebagai contoh. Sedangkan irama lagu yang dipergunakan pada saat menyanyikannya adalah Lagu Cucak Rowo. Ketika lirik lagu tersebut dinyayikan, siswa lain bergerak bersama-sama dengan menghentakkan kaki dan menggoyangkan kepala. Berikut adalah salah satu contoh puisi tersebut.


Ku coba coba mencari damai
Setelah lama kucari tiada kudapat
Kucoba-coba lagi mencari damai
Damai yang kudapat hanya tipu muslihat

Kedamaian digoyang-goyang
Kedamaian digoncang-goncang
Kedamaian semakin parah
Rakyat Indonesia semakin marah

Kedamaian dirusak ah.. aduh sedihnya


Puisi-puisi yang dihasilkan oleh para siswa dikumpulkan untuk diberi penilaian. Tentu saja indikator penilaian yang digunakan harus sesuai dengan Kompetensi Dasar yang diharapkan dalam menulis puisi. Oleh karena itu penilaian akan terfokus pada bait, irama, rima, kesesuaian isi puisi dengan tema yang dipilih, gaya bahasa yang dipergunakan, pesan/amanat, dan makna yang terkandung di dalam puisi tersebut (unsur-unsur intrinsik). Pada pertemuan berikutnya, saya akan melakukan pembahasan secara umum terhadap kelebihan dan kekurangan yang saya temukan di dalam puisi-puisi mereka. Proses belajar akan diteruskan dengan membaca puisi. Masing-masing siswa akan diminta untuk membacakan hasil karyanya di depan kelas.
Sama seperti pada saat penulisan puisi, pembacaan puisi hasil karya sendiri ini pun dinilai secara individu. Saya tidak memerlukan waktu yang lama untuk menuntaskan kompetensi dasar ini, karena rata-rata puisi yang dihasilkan siswa tidak terlalu panjang. Saya juga tidak membahas dan mendiskusikan penampilan siswa satu persatu. Sekali waktu, apabila ada siswa yang tampil dengan baik akan saya beri komentar positif sebagai masukan bagi teman-teman lain. Atau sebaliknya, jika ada siswa yang tampil kurang baik akan saya beri motivasi supaya dapat tampil lebih baik di kesempatan lain. Kemampuan siswa dalam membaca puisi ini dapat dinilai dengan beberapa indikator, seperti: penjiwaan terhadap isi puisi yang dibawakannya, kesesuaian ekspresi yang ditampilkan, dan intonasi nada suara .

Siswa lain juga dapat menjalankan peran yang sama dengan guru. Misalnya dengan memberikan kritik dan saran kepada temannya, ataupun mengemukakan pendapat berkaitan dengan penampilan teman-temannya. Proses ini secara khusus saya lakukan di akhir pembelajaran atau pertemuan. Berdasarkan pengalaman saya, biasanya di sepanjang proses belajar siswa akan lebih berkonsentrasi untuk mempersiapkan penampilan masing-masing. Sehingga apabila mereka diminta untuk mendiskusikan dan menilai satu persatu temannya yang sudah tampil cenderung akan memberi respon seadanya (tidak terlalu serius). Berbeda jika pembahasan dilakukan di akhir pembelajaran di saat mereka sudah merasa rileks atau tidak tegang lagi, biasanya diskusi akan lebih hidup, diwarnai dengan beragam pendapat dan ungkapan pengalaman.

Demokrasi Belajar yang Tercipta di Ruang Kelas
Suasana belajar yang akomodatif dan kreatif terwujud ketika saya memberikan kesempatan kepada siswa-siswa untuk mengungkapkan pengalamannya, baik pada saat memulai pembelajaran maupun di akhir pembelajaran. Salah satu contoh adalah upaya saya untuk mengakomodasi berbagai informasi yang didapat siswa dari kegiatan membaca koran/majalah atau menonton televisi. Akhirnya informasi ini dapat mereka kembangkan secara kreatif ke dalam bentuk-bentuk wacana/tulisan naratif. Demikian pula yang terjadi di setiap akhir pembelajaran, di saat saya mendengarkan beragam pendapat siswa terhadap proses pembelajaran yang baru dialaminya. Secara tidak disadari dengan penuh kemandirian, mereka akan menyusun dan merumuskan kesimpulan-kesimpulan penting dari materi yang baru dipelajari itu. Berdasarkan pengalaman saya, pada umumnya setiap siswa ingin menyampaikan pikiran dan pendapat mereka dengan sejelas mungkin. Di sini akan muncul sebuah proses belajar yang demokratis, karena dalam berpartisipasi dan mengekspresikan diri seorang siwa tidak mengalami kekangan.

Proses belajar yang menyenangkan akan tercipta dengan sendirinya apabila seorang guru mampu untuk menyampaikan kepada siswa kiat-kiat praktis untuk keluar dari permasalahan/kesulitan yang selama ini ditemuinya. Misalnya dalam menulis puisi, strategi pembelajaran yang saya lakukan di awal pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menyusun kalimat-kalimat berstruktur tertentu, sedikit banyak telah berhasil memotivasi siswa untuk menghasilkan puisi sesuai dengan kemampuannya. Saya juga tidak memberikan beban yang terlalu berat kepada siswa dengan menentukan standar penilaian yang tinggi terhadap isi puisi, karena bagi saya yang mengetahui makna atau isi puisi tersebut adalah penulisnya. Jadi saya memberi kebebasan penuh kepada siswa siswa untuk mengekspresikan dan mengolah rasa, pikiran, dan kata-kata yang mereka miliki. Hal yang terpenting bagi saya adalah siswa mau menulis sebuah karya puisi dan memiliki pengalaman pribadi dalam menulis puisi tersebut. Meskipun kadang-kadang hasilnya mungkin kurang memuaskan.
Menurut saya sangat penting seorang guru untuk mempersiapkan dengan matang model pembelajaran yang akan dipergunakan. Gurulah yang memegang peran besar. Diibaratkan, dialah nahkoda dalam berlayar mengelilingi lautan, akan dibawa ke mana kapal yang ia kemudikan itu. Sehingga bila terjadi badai dan gelombang yang kuat, ia mampu untuk mengendalikannya. Oleh karena itu, rencana pembelajaran sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar tentunya tidak bersifat kaku dan statis. Sebagai contoh, pada saat saya melihat siswa mulai terlihat jenuh, mengantuk dan lelah saya ajak mereka untuk bernyanyi atau menggerakkan badan bersama-sama. Proses belajar yang efektif pun akan terasa apabila dalam waktu yang terbatas, siswa mampu memahami materi pembelajaran semaksimal mungkin. Yang diperlukan di sini bukan hanya sekedar penguasaan teori, tetapi ruang bagi siswa untuk mempraktikkan/ mendemonstrasikan teori tersebut dalam sebuah unjuk kerja yang terukur ketercapaiannya.

Setiap guru tentunya memiliki segudang model pembelajaran ataupun metode mengajar yang dapat digunakannya. Pengalaman mengajar yang saya sampaikan disadari masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu dan wawasan pengetahuan yang saya miliki. Akhir kata, selamat melaksanakan aktivitas mengajar. Mudah-mudahan pengalaman-pengalaman yang kita peroleh selama ini dapat membuka pikiran dan pandangan kita untuk berkarya dan melangkah lebih baik ke depan, demi menciptakan kemajuan di dunia pendidikan yang merupakan amal ibadah kita sebagai guru.

0 komentar on "PROSES BELAJAR YANG MEMBERIKAN RUANG BAGI KEBEBASAN BEREKSPRESI"

Posting Komentar

 

kampung anak Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez